Sabtu, 03 November 2007

Menjaga Polisi dari Narkoba

Lagi, seorang polisi ditangkap karena diduga pengedar narkoba. Kepala Polri perlu mengambil sejumlah langkah agar kasus seperti ini tidak berulang.

***

DITANGKAPNYA Ajun Komisaris Polisi Jumantoro karena diduga anggota jaringan narkoba jelas mencoreng wajah korps kepolisian. Memang, belum pasti benar sejauh mana keterlibatan Kapolsek Cisarua, Bogor, itu dengan benda haram tersebut. Pengedar, pelindung, atau sekaligus pemakai. Yang jelas, adanya sabu-sabu dan ribuan pil ekstasi di rumahnya melanggar hukum. Jumantoro tentu tahu itu. Tindakan Kepala Polri yang langsung memberhentikannya sebagai kapolsek tepat. Jumantoro tak layak menjadi polisi, aparat yang tugasnya justru membasmi perdagangan narkoba.

Bukan kali ini saja polisi ditangkap karena narkoba. Pada Maret lalu jajaran Polda Jawa Barat menangkap tiga polisi yang sedang berpesta narkoba di sebuah hotel di Bandung. Satu di antaranya perwira Detasemen Khusus 88, pasukan elite Polri yang bertugas menyikat teroris. Februari lalu bahkan seorang perwira anggota Unit IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi, Komisaris Pudja Laksana, juga ditangkap karena membawa 900 butir ekstasi di mobilnya. Tragisnya, Pudja ditangkap saat dirinya akan memasuki pendidikan Sekolah Pimpinan Polri. Tak bisa dibayangkan bagaimana jika Polri kelak dipimpin orang-orang yang ternyata berkarib dengan narkoba seperti Pudja.

Polisi yang terlibat kejahatan psikotropika ini merata di semua level. Dari pangkat terendah hingga perwira. Dari pemakai, pengedar, hingga pelindung. Tidak hanya di Jakarta, juga di daerah. Hanya, berapa besar jumlahnya, termasuk yang ditangkap dan dipecat, “remang-remang,” tak ada angka pasti. Komisaris Jenderal Togar Manatar Sianipar saat menjabat Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional pernah menyatakan, dirinya ragu kepala kepolisian daerah sudi menampilkan data sebenarnya anak buahnya yang terlibat narkoba. Mereka enggan mengungkapkan karena khawatir semua itu berpengaruh pada kondite dan karirnya.

Banyak tentu penyebab kenapa para polisi terjerumus narkoba. Bisa jadi karena gaji kecil dan lantas tergiur untuk membisniskannya, bisa jadi, jika dia pemakai, awalnya sekadar ingin “mencicipi” karena bisa mendapatkanya secara gratis. Selama ini hasil razia narkoba memang tak pernah jelas diserahkan ke mana. Dan sudah menjadi rahasia umum jika benda-benda haram hasil razia itu justru dimanfaatkan sejumlah polisi untuk kepentingan pribadi. Dijual atau dipakai sendiri.

Apa pun alasannya, Kepala Polri tak perlu memberi ampun kepada anak buahnya yang terlibat kejahatan narkoba. Mereka tidak saja harus diajukan ke pengadilan, juga dipecat dari anggota kepolisian. Jika ini terus diterapkan, maka akan menjadi contoh bagi polisi lainnya: tiada maaf untuk mereka yang tersangkut kasus narkoba.

Beberapa waktu lalu kita pernah dikejutkan penembakan Wakil Kepala Kepolisian Kota Besar Semarang oleh anak buahnya. Setelah kasus ini terjadi, sejumlah Kapolda memerintahkan dilakukan pengetatan dalam pemberian izin membawa senjata api. Sejumlah tes dilakukan untuk mengukur apakah seorang polisi layak membawa senjata atau tidak.

Menyangkut narkoba, ada baiknya tes seperti itu juga diberlakukan. Secara periodik para anggota polisi diperiksa urine-nya. Jika dari tes ini ditemukan seorang polisi mengonsumsi narkoba, maka segera diambil tindakan tegas dan dilakukan penyelidikan. Apakah dia sekadar pemakai atau juga pengedar narkoba.

Di luar itu, untuk mencegah para polisi “tergelincir” kejahatan narkoba, pengawasan internal kepolisian harus ditingkatkan. Sedini mungkin harus bisa dideteksi mereka yang terlibat peredaran benda laknat ini. Makin cepat diketahui, tentu bisa makin cepat diambil tindakan. Dengan cara seperti ini institusi polisi bebas dari potensi sebagai “sarang” pengedar narkoba. ***

Karena Manusia Bukan Binatang

Undang-Undang Perdagangan Orang mengancam dan memberi hukuman berat siapa pun yang mengeksploitasi orang. Dari orang tua yang meminta anaknya jadi pelacur sampai petugas kelurahan yang memalsukan identitas.

***

JIKA undang-undang ini diterapkan semoga kabar semacam ini tidak lagi terdengar: para perempuan dan anak-anak Indonesia dijual, diperbudak, dan dipaksa jadi pelacur. Kita berharap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dua pekan lalu disahkan DPR, membuat para pelaku kejahatan ini jeri dan kapok.

Kasus perdagangan orang (trafficking in persons) di Indonesia terbilang tinggi. Menurut organisasi dunia yang menangani masalah anak, United Nations Children's Fund (UNICEF), rata-rata setiap tahun 100 ribu perempuan dan anak-anak Indonesia diperdagangkan. Kebanyakan menjadi pekerja seks, baik di dalam maupun di luar negeri.

Aparat hukum memang tidak tinggal. Tapi, dilihat dari yang ditangani, memang jauh dari jumlah kasus yang sebenarnya terjadi. Rata-rata, setiap tahun, tak sampai seratus kasus perdagangan orang yang diperiksa polisi. Dari angka itu, yang diproses ke pengadilan tak lebih separuhnya.

Di pengadilan, hukuman mereka yang didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang ini pun tak berat-berat amat. Hakim hanya memvonis satu hingga dua tahun penjara. Sebagian, bahkan, lolos dari dakwaan lantaran tak terbukti sebagai “pedagang orang.”

Ringannya hukuman itu tak lepas dari lemahnya aturan hukum yang ada. Untuk mengusut kasus perdagangan orang, aparat penegak hukum biasanya mengacu Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Celakanya, pasal tersebut tak mengatur secara rinci tentang kejahatan ini selain menyebut, “Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam pidana penjara paling lama enam tahun penjara.”

Dengan ancaman dan hukuman seringan ini tak heran para pelaku kejahatan tersebut, yang menangguk untung besar dari “bisnis berdagang manusia” itu, tak takut berhadapan dengan aparat hukum. Apalagi, jika aparat hukumnya bisa diajak “main mata.” Memang, di luar KUHP ada Undang-Undang Perlindungan Anak. Tapi, selain hanya melindungi mereka dibawah usia delapan belas tahun, undang-undang ini tetap tidak membentengi anak-anak dari tindak kekejian perdagangan orang.

Kini, dengan Undang-Undang Perdagangan Orang, siapa pun terkait dengan penjualan orang, baik untuk dijadikan pelacur atau dieksploitasi sebagai tenaga kerja bisa dikirim ke bui. Dari mereka yang membujuk, menyimpan, menyekap, memakai, atau sekadar sebagai sopir yang mengangkut para korban.

Para orang tua yang menyuruh atau meminta anaknya jadi pelacur, seperti yang terjadi di sejumlah desa di Indramayu, Jawa Barat, dan dikenal sebagai tradisi luruh duit, juga bisa dijerat dengan undang-undang ini. Demikian pula mereka yang memanipulasi dokumen dan keterangan yang memudahkan terjadinya tindak pidana ini, seperti para petugas kelurahan yang mengeluarkan KTP palsu.

Hukuman mereka yang terlibat kejahatan ini juga jauh lebih berat ketimbang KUHP. Selain ada hukuman minimal, yakni, tiga tahun penjara dan denda Rp 20 juta, pelakunya bisa dipenjara hingga seumur hidup dan denda sampai Rp 5 miliar. Jika menyangkut korporasi selain pidana dendanya berlipat menjadi tiga kali, pemerintah bisa mencabut ijin usaha perusahaan tersebut.

Makin lengkaplah aturan hukum kita untuk mencegah dan menjerat para pelaku tindak pidana perdagangan orang. Dengan undang-undang baru ini, aparat hukum, dari polisi hingga hakim, memiliki banyak “amunisi” untuk mengirim siapa pun terkait kejahatan ini ke dalam bui. Dengan dalih apa pun, termasuk masalah ekonomi, kita memang menolak seseorang dijual dan dieksploitasi bak hewan. ***