Selasa, 16 Desember 2008

Ananda dan Marcella

Penganiayaan


Ada Ananda di Kantor Marcella


Polisi menjerat Marcella Zalianty dan pembalap Ananda Mikola dengan tuduhan berlapis, dari penculikan hingga penganiayaan. Penganiayaan itu juga diabadikan lewat telepon genggam.


RUANG tahanan itu berukuran sekitar 2, 5 x 3 meter persegi. Terletak di lantai satu markas Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat di Jalan Salemba Raya, di sanalah sudah dua pekan Ananda Mikola mendekam. Sel itu tidak dihuninya sendiri. Ada empat tahanan lainnya di situ. Salah satunya, Sergio, adik artis Marcella Zalianty.

Tak ada yang dilakukan Ananda di selnya selain mengobrol dengan teman sekamarnya. Sesekali, pemuda 28 tahun yang dikenal sebagai pembalap itu keluar, bermain pingpong bersama tahanan lain di aula yang terletak di lantai satu.

Dua pekan “menginap” di kantor polisi, wajah Ananda terlihat pucat. Ia mengaku dadanya kerap sesak karena mengisap asap rokok. Sebagai bukan perokok, sepanjang hari putra pembalap Tinton Suprato itu terpaksa harus menerima semburan asap rokok dari teman-teman itu. “Dia tak tahap asap rokok,” kata Heri Subagyo, pengacaranya.

Jika Ananda di sel, tidak demikian dengan “teman dekatnya,” Marcella Zalianty, 28 tahun. Artis terbaik dalam Festival Film Indonesia 2005 itu lebih beruntung. Ia ditempatkan di ruang pemeriksaan di lantai dua. Di ruang kerja para penyidik itu, perempuan cantik yang kini sedang membuat film Lastri tersebut “ditemani” asistennya, Lasya. Jika malam keduanya tidur di sofa. Seperti Ananda dan Sergio, Marcella, dan Lasya kini jadi tersangka kasus penganiayaan terhadap Ellias Agung Setiawan. Wajah Marcella yang biasanya segar merona itu kini tampak pucat. “Dia shock,” ujar Minola Sebayang, pengacara Marcella.

RABU dua pekan lalu itu sekitar pukul 17.00 sekitar sepuluh polisi -di antaranya bersenjata laras panjang- merangsek masuk kantor PT Kreasi Anak Bangsa, kantor Marcella, di Gedung Central Cikini, Jakarta Pusat. Di tempat inilah, Marcella, antara lain, melakukan casting untuk mereka yang akan membintangi film Lastri yang mengambil lokasi syuting di sekitar Solo itu.

Petang itu, dari dalam gedung berlantai empat tersebut polisi menggelandang lima pemuda, termasuk Ananda dan adiknya, Moreno Suprapto, 24 tahun. Mereka ditangkap lantaran polisi mendapat laporan mereka menyekap Elias Agung Setiawan di tempat itu. Saat disekap itu rupanya Agung bisa mengirim SMS dan menelepon temannya Siska, yang kemudian melapor polisi. Tiga hari setelah penangkapan , polisi menetapkan Marcella dan Ananda sebagai tersangka. Ada pun Moreno dibebaskan lantaran dianggap tak terlibat.

Menurut Agung, peristiwa yang menimpanya itu bermula dari soal perjanjian pembuatan interior kantor Kreasi Anak Bangsa antara dirinya dan Marcella pada Juni silam. Saat itu disepakati nilai kontrak Rp 200 juta. Lantaran Marcella tak puas dengan hasil kerjanya, artis ini lalu membeli sejumlah perlengkapan desain sendiri senilai Rp 30 juta. Harga ini yang harus diganti Agung. Marcella memberi penggantian itu hingga 28 Desember 2008.

Belum lagi jatuh tempo, “penculikan” itu pun terjadi. Rabu dini hari lalu itu, sekitar pukul 02.00, saat keluar dari pintu lift usai menghadiri acara ulangtahun temannya di lantai 11 Menara Imperium, tiga anak buah Marcella membekuknya. “Leher saya ditodong obeng dan dimasukkan ke dalam mobil,” ujarnya. Dari sini Agung dibawa ke Hotel Ibis Tamarin di kawasan Tanah Abang. Di hotel bertarif semalam sekitar Rp 600 ribu itu, Agung dibawa ke kamar nomor 612.

Menurut pengacara Agung, Malik Bawazier, di kamar itu kliennya disiksa penculiknya yang berjumlah empat orang. Selain menendang dan memukuli, para penculik juga berlaku brutal: menelanjangi kliennya, memasukkan sendok ke dalam dubur Agung, bahkan -ini bisa bikin dahi berkernyit- memerintahkan Agung meminum sperma salah satu pelaku yang sudah dicampur air. “Benar-benar sadis,” ujar Malik.

Esoknya, sekitar pukul 10 para penculik itu membawa Agung ke kantor Marcella. Marcella ternyata belum datang. Saat menunggu Marcella itulah muncul Ananda dan Moreno. Dari sang pembalap, Ananda mendapat hadiah pukulan dan tendangan. Marcella sendiri baru muncul sekitar pukul 13.00. Marcella menuntut Agung melunasi utangnya. Artis ini kemudian juga menghubungi ibu Agung, Sulastri. di Yogya. Ia meminta perempuan 65 tahun itu melunasi utang anaknya.

Kakak Agung, Anang Heru, mengakui ibunya memang pernah mendapat telepon dari wanita yang memintanya untuk segera membayar utang Agung. “Ibu lupa kapan itu dan tidak tahu apa itu Marcella atau bukan,” ujarnya. Sejak kasus itu mencuat, Anang melarang ibunya menonton TV dan menerima wartawan. “Akibat kasus Agung ini, ibu kaget dan masuk rumah sakit,” ujar pria yang sehari-hari berbinis kayu jati itu.

Heri Subagyo membantah Ananda melakukan pemukulan terhadap Agung. Menurut dia, Ananda saat itu hanya meminta Agung membayar utang Marcella. “Jadi, tidak ada pemukulan,” ujarnya. Ada pun yang memberi tahu Ananda keberadaan Agung di kantor itu, ujar Heru adalah Sergio, adik Marcella.

Minola Sebayang menampik keras jika Marcella disebut mendalangi penculikan Agung. “Dia meminta stafnya mengecek keberadaan Agung,” ujarnya. Menurut Minola, Marcella melakukan ini karena selama ini Agung sulit ditemui.”Agung itu itikadnya sudah tidak baik. Alamatnya palsu,” ujar Minola.

Agung sendiri pernah tersandung kasus pidana. Pada 2003, saat masih di Yogya, ia penah diadukan sejumlah orang ke polisi karena melakukan penipuan. Kasus ini lantas bergulir ke pengadilan. Pada Agustus 2003 ia divonis tiga tahun penjara oleh pengadilan. Tapi, tiga bulan kemudian pengadilan tinggi membebaskannya. Demikian juga di tingkat Mahkamah Agung. Mahkamah menilai kasus Agung bukan masalah pidana, tapi perdata. “Soal itu tidak ada hubungannya dengan kasus yang menimpanya sekarang,” ujar Sahala Siahaan, pengacara Agung lainnya.”Apalagi, terbukti dia tidak bersalah.”

SEJUMLAH barang bukti kasus penyengkapan Agung ini sudah dikumpulkan polisi. Tidak hanya rekaman gambar pengambilan Agung dari Imperium, polisi juga sudah mendapat rekaman CCTV (closed circuit television) saat Agung dan penculiknya check out dari Hotel Ibis. “Polisi juga meminta sendok yang dipakai menganiaya Agung,” kata Public Relation Manager Hotel Ibis, Yulia Maria. Sampai pekan lalu polisi sudah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, termasuk Marcella dan Ananda.

Selain barang bukti dari Imperium dan Hotel Ibis, polisi juga menyita handphone milik Marcella dan Ruli, salah seorang anak buah Marcella yang ikut menjemput Agung. “Ruli ini yang selalu menghubungi atau dihubungi Marcella,” ujar seorang penyidik kepada Tempo. Menurut sumber itu, penyiksaan terhadap Agung di Hotel Ibis direkam Ruli lewat telepon genggamnya. Nah, rekaman itu lantas ditransfer ke handphone Marcella. “Tapi, saat handphone itu kami ambil, semua gambar dan SMS itu sudah dihapus,” ujar sang penyidik.

Untuk “menarik” kembali gambar dan SMS itu, Jumat pekan lalu polisi memanggil praktisi multimedia Roy Suryo. Kepada Tempo, Roy bercerita ia perlu waktu dua jam untuk “mengutak-atik” telepon milik para tersangka. “Yang ada hanya foto, tidak ada rekaman video,” katanya.

Dari telepon genggam Nokia seri N70 milik anak buah Marcella itu, Roy mendapat delapan foto adegan penganiayaan terhadap Agung. Salah satunya, gambar ketika bagian belakang tubuh Agung dimasukin suatu benda. “Saya tidak menyangka ada orang tega melakukan seperti itu,” ujarnya. Rekaman gambar itu, ujar Roy, terang dan waktu kejadiannya pas seperti yang diberitakan media massa. Selain gambar, Roy juga berhasil membuka SMS antara Marcella dan Ananda, dan Marcella kepada anak buahnya. Hanya soal isinya, Roy tak bersedia mengungkapkannya.

Sampai pekan lalu ke tujuh tersangka itu menolak dituduh menganiaya Agung. Marcella juga membantah memerintahkan anak buahnya “mengambil” Agung. Ada pun anak buahnya, menampik dituding menyiksa dan menyuruh Agung melakukan tindakan tak senonoh. “Mereka bilang tidak ada, atau lupa,” ujar Wakil Kepala Polres Metro Jakarta Pusat, Ajun Komisaris Besar Angesta Romano Yoyol.

Tapi, menurut Angesta, para tersangka itu sulit mengelak dari kasus ini. “Kami jerat mereka dengan pasal berlapis,” ujarnya. Selain pasal penculikan, polisi menjerat mereka dengan pasal penyekapan dan penganiayaan. “Ancaman hukumannya lima tahun ke atas,” kata Angesta.

Jika ini terjadi, untuk waktu lama, penikmat film Indonesia dan penggemar balap mungkin tak akan lagi bisa menikmati akting Marcella dan aksi balap Ananda. Menurut Tinton putra sulungnya itu sebenarnya Februari mendatang dijadwalkan mengikui seri balap Super Star Eropa dan Afrika. Di Indonesia, ujarnya, hanya Ananda yang punya lisensi mengakuti lomba itu. “Tidak apa-apa tidak ikut, Pemerintah yang menahan dia,” ujarnya.

Menteri Pemuda dan Olahraga, Adyaksa Dault juga prihatin dengan nasib yang menimpa Ananda. Menurut Adyaksa, ia sudah meminta Ananda untuk berhati-hati dalam bergaul. “Karena saya lihat anak ini dekat sekali dengan selebriti, dekat dengan infotainment,” ujarnya. Kini kekhawatiran itu terjadi. Segepok bukti di tangan polisi bisa jadi akan mengantar Ananda Mikola ke dalam bui. “Kalau terbukti, memang habislah masa depan dia,” ujar Adyaksa. ***
LRB/ Rini Kustiani, Munawwaroh, Bernada Rurit (Yogyakarta)
(Dimuat di Majalah Tempo, 15 Desember 2008)

Jumat, 24 Oktober 2008

Syekh Puji

Syekh Puji

JIKA Pujiono Cahyo mendapat perhatian lantaran ulahnya menikahi gadis-gadis cilik, maka itu sangat wajar. Syekh Puji, demikian pria ini asal Semarang ini dipanggil -sayang tidak dikabarkan kapan dan kenapa ia mendapat gelar syekh” diberitakan akan menikahi tiga gadis cilik, masing-masing berumur 12 tahun, 9, dan tujuh. Gadis cilik dalam arti sesungguhnya karena, dengan umur baru segitu, di belahan bumi mana pun, tentu kita menyebut mereka “bocah,” bukan remaja.

Di antara tiga orang itu, gadis cilik berumur 12 tahun diberitakan telah dikawininya. Puji mengumumkan pernikahannya itu di depan sebuah pertemuan. Tapi, belakangan ia membantah. Ia hanya menyatakan baru “akan” menikahinya. “Saya senang dengan yang kecil,” katanya kepada media.

Pujiono boleh berdebat tentang kebolehan seorang menikah seorang gadis yang belum akil balik dari
sudut agama Islam. Ia bisa memberi sederet contoh ulama-ulama -atau bahkan nabi- yang menikahi gadis saat gadis itu belum tahu apa itu mens, apa itu hubungan suami istri, apalagi apa itu arti “istri.” Dan di atas semua itu, Pujiono bukan nabi.

Pujiono memberi berbagai argumentasi lain tujuannya menikahi para bocah itu. Bocah itu sudah setuju, orangtuanya juga setuju, ia akan mendidik mereka menjadi “istri yang hebat,” dan karena itu: ia sendiri yang akan mendidiknya -dari kecil- agar tidak terpengaruh hal-hal yang tak baik. Tentu tak baik versi Pujiono. Sesuatu yang terdengar mulia, tapi sesungguhnya menakutkan. Menyiratkan ada sikap otoriter di balik semua itu.

Saya termasuk yang mencurigai -juga mencela- kelakuan Pujiono itu. Dasarnya sederhana: perkawinan adalah keiklasan dua pihak. Kebersediaan dua pihak yang saling memahami untuk masing-masing diikat. Dikurangi haknya demi yang lain. Agama mengajarkan itu. Undang-Undang Perkawinan 1974 menuliskan soal itu. Lalu, untuk bocah umur 7, 9, dan, 12 tahun, para anak-anak kampung itu, tahu apakah mereka tentang semua itu: arti “istri,” arti “suami,” bahkan arti “kawin siri” itu sendiri.

Anak-anak itu, seperti orang tua mereka, bisa jadi adalah korban kekaguman terhadap apa yang mereka lihat: seorang Puji, seorang syekh yang menguasai ilmu agama, yang kaya raya, yang dermahan. Lalu, dalam kondisi seperti ini para orangtua bersedia anak-anak mereka -atau bahkan menyorongkannya- ke pria yang mereka kagumi. Pujiono mengingatkan kita kepada Aa Gym, yang dulu juga mengaku kerap ditawari orangtua agar mau menjadi menantu mereka kendati mereka tahu Gym telah punya anak lebih dari lima ( dan akhirnya kita tahu Gym pun kawin lagi, tidak dengan bocah seumuran anaknya, tapi janda cantik).

Pujiono bukankah ustad, ulama dalam arti sesungguhnya di mata saya. Ulama adalah menolong. Ulama mengerti arti “masa kecil seseorang adalah sesuatu yang paling bermakna dan paling berbahagia dalam hidup seseorang.” Ulama mengerti, merampas itu semua adalah menghianati hak asasi manusia, dan Islam agama paling depan melawan penindasan HAM. Jika atas nama menolong, Pujiono lebih baik menolong orang tua mereka, menyekolahkan mereka, atau mengambil mereka menjadi anak asuh. Tidak mengawini mereka. Dalam konteks ini kita bisa curiga dengan pernyataan Puji,”Saya memang senang anak kecil.” Adakah sesuatu yang lain di dalam diri pria yang katanya pernah mendermakan uangnya Rp 1,3 miliar ini? (Dari mana pula media mendapat fakta ia mengeluarkan sumbangan sebesar Rp 1,3 M).

Dalam kasus ini, tak perlu kita membawa Undang-Undang Perlindungan Anak, KUHP, atau pun UU Hak Asasi Manusia untuk menghentikan hasrat Puji mengawini gadis cilik-cilik itu. Cukup dari segi agama Islam, agama yang dianut Puji itu, Puji seharusnya bertanya kepada dirinya sendiri. Kenapa ia sangat yakin, tanpa dia, anak-anak itu tak akan menjadi anak-anak hebat. Bukankah ini berarti ia mendahului kehendak yang di atas. Bukankah artinya ia lebih tahu dari Tuhan. Jika sudah begitu, patutkan ia mendapat sebutan ulama, syekh, ustad dsb? (LR.Baskoro)

Jumat, 17 Oktober 2008

RUU Pornografi dan Pasal-Pasal Yang Diprotes

MEREKA datang dari berbagai pelosok Surakarta. Senin lalu, sembari membawa lidi yang di ujungnya tertancap bawang merah dan cabai, seratusan seniman yang tergabung dalam Solo Rayakan Keberagaman (Sorak) tersebut mendatangi gedung DPRD Kota Surakarta. ”Jika disatukan, lidi ini bisa membersihkan, sehingga membuat pikiran jernih,” kata Suprapto, pengasuh Padepokan Lemah Putih, Solo. Lidi-lidi, sebagai simbol tolak bala itu, lantas mereka tancapkan ke batang pisang yang mereka geletakkan di bawah tiang bendera gedung DPRD.

Para seniman Solo itu tidak sedang menggelar pentas seni. Mereka tengah menuntut wakil rakyat membawa aspirasi mereka ke Jakarta: menolak Rancangan Undang-Undang Pornografi. Menurut Suprapto, Rancangan tersebut merupakan produk tidak jernih dan berpotensi menciptakan konflik. Kepada para tamunya, Ketua DPRD Kota Surakarta, Hariadi Saptono, berjanji bakal membawa aspirasi para seniman ke para anggota DPR di Jakarta. ”Akan kami bawa secepatnya,” ujar Hariadi.

Rabu pekan lalu, protes terhadap Rancangan Undang-Undang yang sama juga ”meletus” di Denpasar. Sekitar seribu warga Denpasar yang dikoordinir Komponen Rakyat Bali menggelar pawai unjukrasa di lapangan Renon.

Ini bukan pertamakalinya Bali menolak Rancangan Undang-Undang tersebut. Pada 2006 silam, saat Rancangan ini mulai ”terdengar nyaring” di masyarakat, puluhan tokoh Bali juga berdemo, menentang, dan memperingatkan pemerintah tentang bahayanya undang-undang itu jika diterapkan. ”Sekarang namanya berubah, tapi substansinya tetap saja sama,” ujar budayawan Bali, Sugi B. Lanus, yang memimpin aksi di lapangan Renon itu.

Rancangan Undang-Undang Pornografi itu kini memang sudah di ujung waktu pengesahan. Walau mendapat protes keras dari masyarakat, panitia khusus Rancangan ini jalan terus. ”Undang-undang ini telah mengakomodir semua kepantingan masyarakat,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tersebut, Yoyoh Yusron. Menurut Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang ini, Balkan Kaplale, RUU ini memang tinggal ”diketuk” saja.

Berbeda dengan setahun silam, rancangan undang-undang perihal pornografi tersebut kini memang muncul dengan ”judul” baru. Jika dulu namanya ”Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi,” sekarang bersalin jadi ”Undang-Undang Pornografi.” Jumlah pasalnya juga menyusut. Jika dulu 93 pasal, sekarang kempis, tinggal 44 pasal.

Sejumlah pasal kontroversial yang dimuat pada rancangan pertama sudah tanggal. Pasal 58 yang berisi ancaman penjara lima tahun bagi siapa pun, baik lewat tulisan maupun gambar yang mengekspresikan daya tarik tubuh tertentu yang sensual, misalnya, sudah lenyap. Pasal inilah yang dulu membuat geram pelukis Cak Kandar. “Kalau lukisan orang telanjang disebut pornografi, ini bahaya,” teriak Cak Kandar saat memprotes Rancangan Undang-Undang tersebut di DPR.

Kendati Panitia Khusus mengaku sudah menggodok semua masukan dari masyarakat, toh subtansi Rancangan Undang-Undang ini tetap dianggap tak beda jauh dengan rancangan pertama yang memancing kecaman dari sana-sini itu.

Definisi tentang pornografi misalnya, tetap saja ”abu-abu,” alias bisa mengandung multi tafsir. ”Konsep pornografi tidak jelas,” ujar Emmy Sahertian, Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, organisasi yang menolak Rancangan Undang-Undang itu.

Rancangan ini juga tetap dinilai tidak melihat kekhususan daerah lain, seperti, Papua atau Bali. Dengan definisi semacam, ”setiap orang dilarang mempertontonkan diri di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,” misalnya, turis asing yang mandi matahari di pantai Kuta pun bakal bisa ditangkap dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Pornografi. Sejumlah seniman patung Bali juga resah, lantaran patung-patung mereka bisa saja dikategorikan benda porno. ”Saya mengharap Rancangan Undang-Undang Pornografi ini menghargai nilai-nilai yang hidup di daerah,” kata Gubernur Bali, Made Mangku Pastika.

Undang-Undang ini memang memberi kekhususan kepada seni budaya yang selama ini bisa diklasifikasikan berbau pornografi. Tapi, seniman wayang kulit Solo, Sugeng Nugroho, menuding pasal 14 yang memberi kekhususan kepada seni budaya tersebut sebagai pasal ”seolah-olah.” ”Ranjau” tentang ini, ujarnya, berada pada pasal berikutnya. Pasal 15 mengatur bagaimana ketentuan pasal 14 itu boleh berlaku. Jika ini dilanggar maka, menurut Undang-Undang ini, pelakunya bisa dipenjara hingga 12 tahun atau denda hingga Rp 5 miliar.

Ancaman pidana Rancangan Undang-Undang ini memang cukup berat. Mereka yang dianggap telanjang atau mempertontonkan ketelanjangan di muka umum, misalnya, bisa dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Ada pun mereka yang men-down load alias mengambil gambar yang bersifat pornografi dari internet, bisa dibui selama empat tahun atau harus membayar denda hingga Rp 2 miliar rupiah.

Perlawanan dari dalam terhadap rancangan undang-undang pornograsi edisi terbaru ini bukannya tak ada. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Damai Sejehtera, misalnya, menolak Rancangan tersebut. Kedua fraksi tersebut kukuh pada tuntutan mereka. Rancangan itu, mestinya, hanya mengatur tentang distribusi benda-benda berbau pornografi. ”Kami menolak Rancangan Undang-Undang tersebut,” ujar Tiurlan B. Hutagaol, anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera.

Kini memang berpulang kepada para wakil rakyat. Yang pasti, seperti ujar gubernur Bali Made Mangku Pastika, memang tak ada artinya jika undang-undang itu disahkan, tapi tidak bisa diterapkan atau justru menimbulkan kekisruhan. Sikap yang sama disuarakan Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono. Meutia minta DPR tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan itu.***
LR. Baskoro, Eko Ari Wibowo, Ahmad Rafiq (Solo), dan Rofiki Hasan (Denpasar). (Dimuat di Majalah Tempo, 25 September)




Inilah sejumlah pasal yang menimbulkan kontroversi

Pasal 1
Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukkan di muka umum yang dapat membangkitkan seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

-Definisi ini dinilai kabur. Frasa ”yang dapat membangkitkan seksual,” tidak jelas dan subyektif.” Seni pertunjukkan masyarakat atau lukisan, misalnya, sangat rentan dianggap melanggar pasal ini.

Pasal 4
1)Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan pornografi yang memuat:
a.persenggamaan, termasuk persenggamaan menyimpang
b.kekerasan seksual
c.masturbasi atau onani
d.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan atau
e.alat kelamin

-Definisi ”mengesankan ketelanjangan” tidak jelas dan menimbulkan tafsir subyektif.

Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)

Dengan definisi kabur pada pasal 4, pasal ini rentan untuk mengirim siapa pun kedalam bui karena dituduh, misalnya, mengambil foto dari internet yang ”mengesankan ketelanjangan.”

Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukkan atau dimuka umum yang menggambarkan ketelanjangan, ekploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

-Defini istilah ”ketelanjangan,” ”eksploitasi seksual,” ”bermuatan pornografi” tidak jelas dan mengandung tafsir subyektif. Mereka yang memakai baju ketat atau memakai kaos berilustrasi karikatur yang dianggap gambar telanjang pun bisa dianggap melanggar pasal ini, tidak perduli apakah itu berada di mall, pertokoan, atau di pantai.

Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

-Pasal ini dianggap berbahaya karena memberi peluang siapa pun, atas nama memerangi ”pornografi,” untuk bertindak main hakim sendiri. ***

LRB
sumber: riset, wawancara

Selasa, 12 Agustus 2008

Ginandjar dan Kasus Balongan

KABAR bahagia itu datang dari Gedung Bundar untuk Ginandjar Kartasasmita. Penyampainya: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Marwan Effendy. Kepada wartawan, Marwan menyatakan kasus dugaan korupsi proyek Export Oriented Refinery (Exor) I Pertamina, Balongan tak bisa diteruskan. “Karena sudah kadaluwarsa,” kata jaksa yang baru lima bulan duduk di kursi “jampidus” tersebut.

Ginandjar yang kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Daerah, adalah salah satu “tokoh” yang sebelumnya dianggap paling bertanggung jawab terhadap kasus ini. Saat kasus ini terjadi, sekitar akhir 1980-an, Ginandjar menjabat Menteri Pertambangan dan Energi, sekaligus sebagai Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP). Karena posisinya itulah, kejaksaan menganggap pria 67 tahun yang berpangkat terakhir marsekal madya ini mengetahui kasus yang membuat negara rugi hampir US$ 200 juta.

Lantaran anggota TNI , kejaksaan lantas berkirim surat ke Markas Besar TNI. Kejaksaan meminta dibentuknya tim koneksitas untuk memeriksa Ginanjar. Surat itu dikirim Kejaksaan Agung pada Januari 2007. Permintaan itu rupanya tak berjawab.

Nah, lantaran tak ada jawaban itulah, perkara ini pun “dimakan waktu.” Menurut Marwan, sesuai pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, masa kadaluwarsa kasus yang diancam hukuman pidana tiga tahun atau lebih adalah 12 tahun. Ada pun jika ancaman hukumannya pidana seumur hidup atau mati, kadaluwarsanya 20 tahun. “Kasus Ginanjar di Balongan itu tidak termasuk pidana seumur hidup atau hukuman mati,” kata Marwan. Menurut Marwan, jika pun kasus itu tindak pidana dengan tuntutan hukuman mati sekali pun, maka juga sudah kadaluwarsa. “Berarti sudah 20 tahun, sudah habis,” ujar Marwan kepada Tempo, Senin pekan lalu, di ruang kerjanya.

Berhentinya perkara ini tak pelak mengejutkan John Waliry, pengacara Tabrani Ismail, mantan Direktur Pengolahan Pertamina. Soalnya, dengan demikian, hanya Tabrani-lah satu-satunya yang menanggung “dosa” skandal korupsi Balongan ini. Tabrani, 70 tahun kini meringkuk di penjara Cipinang, Jakarta Timur. “Jika Ginanjar lolos ini tidak adil,” kata pengacara yang juga bekas jaksa itu.

*

Kasus korupsi Balongan ini bermula pada 1988 ketika Pemerintah berencana membangun kilang minyak di Kecamatan Balongan, Indramayu, Jawa Barat. Kilang anyar tersebut diharapkan bisa mendongkrak pendapatan Pertamina. Pendanaan proyek ini tidak memakai anggaran pemerintah (non-recourse financing), tapi dibiayai seluruhnya dengan hasil kilang.

Untuk merealisasikan proyek ini, dibentuk tim. Tabrani Ismail ditunjuk sebagai ketua tim negoisasi. Tim inilah yang melakukan tawar-menawar harga dengan konsorsium yang terdiri, antara lain, Foster Wheeler, Mitsui dan Japan Gasoline Corp. Nilai proyek ini sekitar US$ 2 miliar. Kerja tim ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris yang diketuai Ginandjar.

Belakangan, terungkap proyek ini ternyata sarat “penggelembungan.” Nilai proyek itu diperkirakan mestinya tak lebih US$ 1,6 miliar. Pembekakan itu karena masuknya biayak konsultasi dan juga pembelian tangki baru. Proyek itu ternyata juga jauh dari untung seperti yang digembar-gemborkan. Sejak diresmikan Mei 1995 hingga 1999, proyek ini merugi tak kurang US$ 35 juta. Bahkan, pada awal beroperasinya, Balongan mesti “turun mesin” berkali-kali lantaran kerap ngadat.

Kasus Balongan ini pun pada 2001 “masuk” Kejaksaan Agung. Sejumlah petinggi Pertamina termasuk Tabrani Ismail dan Direktur Utama Pertamina saat itu, Faisal Abda'oe diperiksa. Menurut Kejaksaan terjadi mark up pada proyek ini sehingga negara rugi sekitar US$ 200 juta atau sekitar Rp 1, 7 triliun.

Belakangan yang diajukan ke Pengadilan ternyata hanya Tabrani. Jaksa mendakwa
Tabrani melakukan korupsi dan menuntut Tabrani 12 tahun penjara. “Padahal, bukan dia yang menetapkan harga, “ ujar John. Menurut John, keputusan tentang harga proyek itu ditentukan tim yang diketuai Ginanjar. “Karena sesuai aturan di Pertamina, kewenangan direktur itu hanya untuk proyek yang nilainya di bawah Rp 1 miliar,” kata John.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menyidangkan kasus ini, ternyata juga menyatakan Tabrani tidak bersalah. Pada 2003 pengadilan memvonis bebas Tabrani. Jaksa mengajukan kasasi. Hasilnya, April 2006 majelis kasasi yang diketuai Bagir Manan “menganulir” putusan pengadilan negeri. Tabrani divonis enam tahun penjara. Ia juga harus membayar ganti rugi US$ 190 juta. Tapi, sebelum dieksekusi, Tabrani kabur. Ia baru tertangkap setahun kemudian oleh tim pemburu korupsi Kejaksaan Agung, yang kemudian mengirimnya ke penjara Cipinang.

*
Di penjara, sebuah tim Kejaksaan mengorek kembali “kasus Balongan” ini dari mulut Tabrani. Di sinilah, menurut sumber Tempo, terungkap peran Ginanjar. Lantaran saat peristiwa itu terjadi, Ginanjar berstatus perwira aktif, maka untuk memeriksa Ginanjar harus sebuah tim koneksitas. Pada Juli 2007 Jaksa Agung Hendarman Supandji pun mengirim surat kepada Panglima TNI untuk meminta pembentukan tim tersebut.

Keterlibatan Ginanjar dalam kasus ini dibenarkan seorang jaksa yang pernah “memegang” kasus Balongan ini. Menurut dia, sebagai Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina peran Ginanjar sangat menentukan, termasuk dalam penentuan nilai proyek. “Sulit jika disebut dia tidak bertanggung jawab,” ujar sang jaksa tersebut.

Ginandjar sebenarnya pernah diperiksa Kejaksaan. Pemeriksaan itu terjadi pada 11 Juli 2002. Tapi, kepada tim jaksa yang memborbardirnya dengan 34 pertanyaan, Ginandjar menyatakan ia tidak melakukan intervensi apa pun pada proyek Balongan ini. “Saya tidak terlibat langsung dalam perencanaan Exor 1 Balongan, karena waktu diangkat jadi Mentamben, proyek itu telah diputuskan Pemerintah,” kata Ginandjar ditanya perihal keterlibatannya atas proyek itu.

Salah seorang jaksa yang memeriksa Ginandjar, Sarjono Turin, menyatakan, saat itu Ginandjar diperiksa sebagai saksi. “Jika akan diperiksa lagi dengan minta izin ke Markas Besar TNI, mungkin itu berkaitan dengan vonis Mahkamah Agung yang menyatakan Tabrani bersalah,” ujar Sarjono yang kini menjadi jaksa Komisi Pemberantas Korupsi itu.

Ditemui Kamis lalu di kantornya di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Marsekal Muda TNI Sagom Tamboen menyatakan, pihaknya memang menerima surat permintaan izin pemeriksaan Ginandjar dari Kejaksaan Agung. “Dalam surat itu status Ginandjar adalah tersangka,” ujar Sagom. Hanya, menurut dia, dari hasil telaah Badan Pembinaan Hukum (Banbinkum) TNI disimpulkan, Ginandjar tidak terlibat kasus Balongan. Dengan dasar itulah, ujar Sagom, pembentukan tim koneksitas yang diminta kejaksaan tidak diperlukan. Sagom yakin, soal ini sudah disampaikan Markas Besar TNI ke Kejaksaan Agung. “Jika tidak, kejaksaan pasti akan mengirim surat kembali.”

Menurut Sarjono jika benar kasus ini kadaluwarsa, maka, otomatis, berarti tidak ada lagi alasan untuk memperkarakan Ginandjar. Artinya, tak ada celah apa pun untuk memeriksa Ginandjar. “Secara hukum tidak bisa lagi,” ujarnya.

Pendapat berbeda dilontarkan pakar pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita. Menurut Romli, kasus Balongan yang “menjerat” Ginandjar itu belum kadaluwarsa. “Kadaluwarsa itu dihitung dari penuntutan,” ujarnya. “ Dan Ginandjar selama ini masih sebagai saksi.” Menurut Romli, karena putusan terhadap Tabrani sudah bersifat tetap, putusan itu jelas bisa dipakai untuk memeriksa Ginandjar. “Karena Tabrani itu didakwa melakukan korupsi bersama-sama.” Romli menegaskan, jika Kejaksaan tetap ngotot menyatakan kasus ini kadaluwarsa, maka Komisi Pemberantasan Korupsi harus harus mengambil alih kasus ini. “Ini kewajiban KPK,” ujar Romli.

Ginandjar sendiri tampaknya tak mau lagi dirinya “diingatkan” dengan kasus Balongan tersebut. Ditemui wartawan Tempo, Alwan Ridha Ramdani, seusai memberikan ceramah di Universitas Parahyangan, Bandung, Kamis pekan lalu, ia menutup mulutnya rapat-rapat. “Dikejar” hingga ke tempat parkir mobilnya, ia tetap tak menjawab satu pun pertanyaan yang berkaitan dengan kasus Balongan. “Jangan bicarakan itu,” ujarnya, sesaat sebelum naik mobil. Dan, wuss, Ginandjar pun melesat pergi. ***
LR. Baskoro, Munawwaroh, Gabriel Yoga, Rini Kustiani
(Artikel ini dimuat di Majalah Tempo yang terbit pada 11 Agustus 2008)

Jumat, 25 Juli 2008

Opini: Ryan dari Jombang

Oleh: LR. Baskoro

Para komunitas homoseksial langsung bereaksi ketika media menghubungkan serentetan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan (Verry Idhan Henyaksyah) dengan orientasi Ryan sebagai homoseksual.

Hal yang wajar memang. Media selalu berupaya menonjolkan sesuatu yang menarik di balik sebuah peristiwa. Dan Ryan yang homoseksual adalah kenyataan yang “seksi” untuk diberitakan. Kendati, sampai sekarang, kita belum mendengar pengakuan Ryan sendiri: “Saya memang seorang homoseksual, kok. Posisiku biasa sebagai buttom (perempuan),” misalnya.

Tapi, saya setuju media harus jernih untuk cepat tidak membuat stigma kasus Ryan ini sebagai kencenderungan seorang homoseksual, yakni, membunuh dengan sadistis. Bahwa Ryan membunuh teman kencanya, Heri Santoso di Apartemen Margonda pada Jumat 11 Juli 2008 adalah fakta. Bahwa, ada sekitar empat mayat -semua lelaki- di belakang rumahnya di Dusun Maijo, Desa Jati Wates, Jombang, Jawa Timur, adalah fakta.

Tapi, langsung menembak ini adalah “ulah seorang homoseksual” memang menyakitkan untuk mereka yang memiliki kondisi seks semacam ini. Saya tidak menyalahkan para jurnalis. Jurnalis memang harus belajar -karena kelengahan yang baru disadari belakangan. Seperti, misalnya, mereka juga tanpa sadar menulis jelas-jelas nama seorang anak di bawah umur lengkap dengan alamat dan sekolahnya -sesuatu yang dilarang oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

Dalam kasus Ryan, wartawan sebaiknya menempatkan Ryan murni sebagai orang yang diduga melakukan pembunuhan. Yang bisa didiskusikan dalam kasus ini adalah, apakah misalnya dia seorang psikopat atau, orang normal biasa, yang kepepet karena kondisi ekonomi, dan lantas membunuh.

Orang-orang seperti Ryan jelas mencemaskan dan meresahkan masyarakat. Pekan lalu saya mendatangi apartemen Margonda, yang tak jauh dari stasiun kereta api Depok, Universitas Indonesia. Apartemen ini memiliki tak kurang dari 800 kamar. Ahai, inilah privacy orang hidup di kota besar. Anda tidak diganggu siapa pun jika memiliki kamar senilai Rp 130-an juta di sini. Tetangga kiri-kanan Anda tidak ada yang menggubris Anda jika, Anda membawa siapa pun ke kamar Anda. Dengan kondisi ini, tak heran jika Ryan bisa dengan mudah membunuh Heri dan tak ada mengetahuinya. Satu-satunya yang merepotkan adalah mengeluarkan mayat korban pembunuhan itu. Dan Ryan melakukan dengan konvensional: memotong-motongnya sehingga mudah dimasukkan ke dalam koper dan tak dicurigai oleh satpam dan supir taksi yang disewanya.

Karena itu, yang diperlukan untuk kita, untuk masyarakat, adalah bagaimana kita bisa mengenali orang-orang bertipe Ryan ini. Tentu, supaya tak ada korban lagi. Apakah, misalnya, orang seperti ini bisa dideteksi dari perilaku mereka? Bicaranya, gerak-geriknya? Jika pun bisa terdektesi, pertanyaan selanjutnya: bisakah orang-orang demikian disembuhkan.

Juga yang tak kalah pentingnya, media menurut saya perlu mencari tahu bagaimana orang-orang demikian menjebak korbanya. Sesuatu yang berguna bagi siapa pun untuk terhindar dari hal-hal semacam ini. Kasus “Ryan van Jombang” ini harus memberi pelajaran bagi masyarakat dan negara -bagaimana negara mengatasi jika memiliki warga negara berpenyakit psikopat, misalnya.

Pertanyan inilah yang mesti juga diberitakan media massa. Karena, tentu siapa pun, tak ingin lahir di dunia ini sebagai orang yang oleh masyarakat digolongkan tak normal. ***

Ryan dari Jombang

Oleh: LR. Baskoro


Para komunitas homoseksial langsung bereaksi ketika media menghubungkan serentetan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan (Verry Idhan Henyaksyah) dengan orientasi Ryan sebagai homoseksual.

Hal yang wajar memang. Media selalu berupaya menonjolkan sesuatu yang menarik di balik sebuah peristiwa. Dan Ryan yang homoseksual adalah kenyataan yang “seksi” untuk diberitakan. Kendati, sampai sekarang, kita belum mendengar pengakuan Ryan sendiri: “Saya memang seorang homoseksual, kok. Posisiku biasa sebagai buttom (perempuan),” misalnya.

Tapi, saya setuju media harus jernih untuk cepat tidak membuat stigma kasus Ryan ini sebagai kencenderungan seorang homoseksual, yakni, membunuh dengan sadistis. Bahwa Ryan membunuh teman kencanya, Heri Santoso di Apartemen Margonda pada Jumat 11 Juli 2008 adalah fakta. Bahwa, ada sekitar empat mayat -semua lelaki- di belakang rumahnya di Dusun Maijo, Desa Jati Wates, Jombang, Jawa Timur, adalah fakta.

Tapi, langsung menembak ini adalah “ulah seorang homoseksual” memang menyakitkan untuk mereka yang memiliki kondisi seks semacam ini. Saya tidak menyalahkan para jurnalis. Jurnalis memang harus belajar -karena kelengahan yang baru disadari belakangan. Seperti, misalnya, mereka juga tanpa sadar menulis jelas-jelas nama seorang anak di bawah umur lengkap dengan alamat dan sekolahnya -sesuatu yang dilarang oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

Dalam kasus Ryan, wartawan sebaiknya menempatkan Ryan murni sebagai orang yang diduga melakukan pembunuhan. Yang bisa didiskusikan dalam kasus ini adalah, apakah misalnya dia seorang psikopat atau, orang normal biasa, yang kepepet karena kondisi ekonomi, dan lantas membunuh.

Orang-orang seperti Ryan jelas mencemaskan dan meresahkan masyarakat. Pekan lalu saya mendatangi apartemen Margonda, yang tak jauh dari stasiun kereta api Depok, Universitas Indonesia. Apartemen ini memiliki tak kurang dari 800 kamar. Ahai, inilah privacy orang hidup di kota besar. Anda tidak diganggu siapa pun jika memiliki kamar senilai Rp 130-an juta di sini. Tetangga kiri-kanan Anda tidak ada yang menggubris Anda jika, Anda membawa siapa pun ke kamar Anda. Dengan kondisi ini, tak heran jika Ryan bisa dengan mudah membunuh Heri dan tak ada mengetahuinya. Satu-satunya yang merepotkan adalah mengeluarkan mayat korban pembunuhan itu. Dan Ryan melakukan dengan konvensional: memotong-motongnya sehingga mudah dimasukkan ke dalam koper dan tak dicurigai oleh satpam dan supir taksi yang disewanya.

Karena itu, yang diperlukan untuk kita, untuk masyarakat, adalah bagaimana kita bisa mengenali orang-orang bertipe Ryan ini. Tentu, supaya tak ada korban lagi. Apakah, misalnya, orang seperti ini bisa dideteksi dari perilaku mereka? Bicaranya, gerak-geriknya? Jika pun bisa terdektesi, pertanyaan selanjutnya: bisakah orang-orang demikian disembuhkan.

Juga yang tak kalah pentingnya, media menurut saya perlu mencari tahu bagaimana orang-orang demikian menjebak korbanya. Sesuatu yang berguna bagi siapa pun untuk terhindar dari hal-hal semacam ini. Kasus “Ryan van Jombang” ini harus memberi pelajaran bagi masyarakat dan negara -bagaimana negara mengatasi jika memiliki warga negara berpenyakit psikopat, misalnya.

Pertanyan inilah yang mesti juga diberitakan media massa. Karena, tentu siapa pun, tak ingin lahir di dunia ini sebagai orang yang oleh masyarakat digolongkan tak normal. ***


Selasa, 10 Juni 2008

Ekspresi Piala Eropa

SAYA paling senang menikmati foto-foto yang memperlihatkan ekspresi pendukung suatu kesebelasan. Dalam kejuaraan piala Eropa ini pun, jika membuka lembaran edisi khusus pertandingan sepakbola itu, saya selalu membutuhkan waktu lebih lama di halaman yang berisi esai foto-foto yang merekam ekspresi para pendukung masing-masing kesebelasan itu.

Foto ekspresi. Ya, memang semata foto ekspresi. Foto yang merekam dan menonjolkan ekspresi mereka yang dengan mata kepala sendiri, melihat momen penting yang dilakukan kesebelasan pujaannya. Selalu ada sesuatu yang gampang kita terjemahkan atau, sebaliknya, sulit kita terjemahkan dari melihat wajah-wajah itu. Dan saya selalu menikmati keasyikan untuk mengira-ngira, apa sih perasaan atau pikiran mereka saat itu. Bagi saya ekspresi dalam hitungan detik itu merupakan puncak komulatif dari rangkaian stimulus pikiran dan semua urat syarat mereka. Juga mewakili dari isi hati dan kepala ratusan ribu atau jutaan pendukung kesebelakan itu.

Dan fotografer adalah orang paling pintar untuk memburu hal-hal demikian. Saya tahu, hampir semua fotografer memiliki keinginan yang sama untuk merekam -atau mencari- momen demikian dalam setiap suatu pertandingan. Tapi, tak semua fotografer bisa mendapatkan foto yang benar-benar menggugah. Saya yakin nasib baik dan ketekunan dibutuhkan di sini.

Koran Tempo edisi 9 Juni 2008 memperlihat wajah-wajah para pendukung kesebelakan Swiss saat kesebelasan mereka ditekuk kesebelasan Republik Cek. Gadis cantik yang menangkupkan dua tangannya di depan mulutnya setengah terbuka --saya menduga dia mugkin menngucapkan “Oh my god....” .Juga seorang gadis remaja yang memasukkan jari-jarinya ke mulutnya. Yang terakhir ini saya tak bisa menebak, apakah ia melakukan itu saat setelah tahu kesebelasan pasti kalah, atau sedang melihat sesuatu momen yang penting. Misalnya, terjungkalnya pemain pujaan mereka, Alexander Frei. Tapi, saya mennyimpulkan, memasukkan sejumlah jari ke mulut, mungkin itulah kebiasaan remaja perempuan ini jika menghadapi hal-hal yang menggetarkan dalam hidupnya.

Demikian juga dua bocah, mungkin mereka kembar, yang umurnya mungkin sekitar 4 tahunan. Digendong, masing-masing oleh ayah dan ibunya, mereka menatap dengan wajah duka ke sebuah tempat, yan menurut saya, adalah televisi raksasa yang menayangkan pertandingan sepakbola itu. Saya tak tahu, apakah bocah itu tahu siapa yang bertanding -kendati pipinya dihiasi corengan bendera swiss dan juga mengalami kesedihan seperti kedua orang tuanya. Jika tidak mengerti, bisa jadi aura kesedihan di sekitarnya, yang dipancarkan ribuan pendukung Swiss, berhasil hingga pula pada tubuh dua bocah ini.

Momen dalam hitungan detik yang pasti diambil tanpa disadari oleh sang obyek itu memang merupakan sejarah. Fotografer olahraga selalu tak pernah menghilangkan momen-momen sejarah seperti ini. Mereka mencari, memburu dan, tekun menanti berjam-jam untuk menemukan momen seperti itu. L.R.Baskoro (10/6/08)

Rabu, 07 Mei 2008

Sensor Film Indonesia

Mahkamah Konstitusi menolak pencabutan pasal-pasal yang berkaitan dengan sensor film. Sejumlah sineas akan menerapkan sistem klasifikasi film di lingkungan mereka sendiri.

***

SUTRADARA Film Riri Riza memilih mengalah. Siang itu, di Gedung Mahkamah Konstitusi, bersama-sama sejumlah rekannya, antara lain sutradara Mira Lesmana, ia berencana membuat konferensi pers. Puluhan wartawan sudah berkumpul. Mereka ingin mendengar “pernyataan” sutradara muda ini perihal putusan yang baru beberapa menit sebelumnya “diketuk” Mahkamah Konstitusi.

Tapi, belum lagi acara itu digelar puluhan orang anggota Front Pembela Islam (FPI) datang menghambur. Mereka mengepung Riri dan rekan-rekannya, berteriak-teriak meminta “acara jumpa pers” tidak dilakukan. “Jangan demonstrasi di sini,” teriak seorang di antaranya dengan lantang.

Para sutradara muda itu tidak melakukan perlawanan. Mereka memilih mengalah, pergi ke lantai dua. Di situ, di sebuah sudut ruang, para wartawan memberondong Riri dengan berbagai pertanyaan seputar ditolaknya gugatannya meminta Lembaga Sensor Film dibubarkan.

*

RABU pekan lalu, sidang putusan yang berlangsung di gedung Mahkamah Konstitusi itu memang rada istimewa. Para ”tamu” yang datang ke ruang sidang tak hanya artis, sutradara, dan pengamat film, tapi juga puluhan anggota Front Pembela Islam. Hari itu Mahkamah akan memutuskan permohonan uji materi yang diajukan Riri dan sejumlah rekannya. Kepada Tempo yang menemaninya berangkat ke Gedung Mahkamah Konstitusi, sebelumnya, Riri menyatakan pesimistis ”gugatannya” diterima.

”Ramalan” Riri terbukti. Mahkamah menolak gugatan yang mereka ajukan. Menurut Mahkamah, Lembaga Sensor Film tetap konstitusional sepanjang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

Kendati demikian, dalam soal keberadaan Undang-Undang Perfilman itu, para hakim sepakat undang-undang itu perlu diperbaiki. ”Undang-Undang ini, termasuk ketentuan yang mengatur tentang sensor, sudah tak sesuai dengan semangat zaman,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Begitu Jimly selesai membacakan putusannya, puluhan anggota FPI yang berada di balkon berteriak ”Allahu Akbar....”

Keputusan para hakim pengawal konstitusi ini tak bulat. Hakim Laica Marzuki memiliki pendapat berbeda (disenting opinion). Laica menegaskan, lembaga sensor harus dibubarkan. Menurut Laica, lembaga ini telah menghalangi hak setiap orang mengeluarkan pikiran, baik dengan lisan maupun tulisan.”Bumi tidak bakal berhenti beredar tatkala lembaga sensor film dibubarkan,” ujarnya.

Urusan sensor film inilah yang digugat para penggiat film yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI). November lalu, Riri bersama beberapa anggota MFI lainnya, Annisa Nurul Shanty (artis), Nia Dinata, Direktur Jakarta Internasional Film Festival Lalu Rois Amriradhiani, dan sutradadara Tino Saroenggallo, meminta Mahkamah melakukan uji materi terhadap Undang-Undang tentang Perfilman (UU No.8/1992).

Kelimanya meminta Pasal 1, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40 dan Pasal 41 yang berkaitan dengan sensor ”dirontokkan.” Pasal-pasal itu, menurut mereka bertentangan, dengan hak konstitusional, melanggar pasal 28 UUD yang mengatur kebebasan berekspresi. Jika pasal ini dicabut, otomatis, Lembaga Sensor Film (LSF) bakal hilang pula.

Para sineas menuding kewenangan Lembaga ini kelewatan. ”Mereka bertindak otoriter,” ujar Riri. Sejumlah filmnya, Kuldesak, Tiga Hari Mencari Cinta, atau Gie, pernah berurusan dengan lembaga ini. Adegan ciuman dalam film Gie , film tentang kehidupan tokoh mahasiswa Soe Hok Gie, misalnya, ”digunting” Lembaga Sensor Film dengan alasan menimbulkan nafsu.“Padahal, ada hal lain yang ingin diperlihatkan di situ,” kata alumnus Media Arts Department, Royal Holloway University, Inggris, ini.

Sutradara Tino Saroenggalo juga punya pengalaman buruk dengan film dokumenternya, The Student Movement in Indonesia. Salah satu adegan dalam film yang bercerita aksi-aksi mahasiswa pada 1998 itu, seorang tentara yang menendang seorang mahasiswa yang terkapar, dilibas gunting LSF. ”Dengan pemotongan itu, penonton tak akan pernah tahu mahasiswa itu masih hidup atau sudah meninggal,” katanya.

Digelar sejak awal tahun lalu, sejumlah saksi ahli dipanggil untuk didengar komentarnya perihal keberadaan Lembaga Sensor Film. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, misalnya, tetap mendukung adanya lembaga ini. ”Kalau pemohon tidak puas dengan kinerja LSF, seharusnya pemohon berkoodinasi dengan LSF agar aspirasi mereka tertampung,” ujar Jero.

Pakar hukum Nono Anwar Makarim punya pandangan berbeda dengan Jero. Menurut Nono, yang juga tampil sebagai saksi ahli, Lembaga Sensor Film berpotensi menjadi lembaga yang sangat berkuasa. Menurut Nono, ada empat kunci dalam pengertian sensor yang bisa membuat LSF sangat kuat: mengantongi kewenangan meneliti, menilai, menentukan, sekaligus meniadakan. Kewenangan seperti ini, ujar Nono, bagaikan pengadilan dengan satu pihak penentu keputusan tunggal. ”Saya tak setuju ini yang menentukan LSF,” katanya.

Kendati beragam saksi dan contoh film yang disensor dihadirkan, toh kenyatannya delapan dari sembilan hakim konstitusional beranggapan pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 8/1992 itu tak bertentangan dengan konstitusi. ”Kami bersyukur. Seandainya saja LSF itu dibubarkan, berarti kita kembali ke masa hutan belantara lagi,” kata Ketua Lembaga Sensor Film, Titi Said. Menurut Titi, lembaganya tetap tidak memberi toleransi terhadap film-film yang dinilai melanggar kesusilaan dan moralitas.

Kendati upayanya ”merontokkan” Lembaga Sensor Film” gagal, Riri Riza menyatakan ia dan para sineas lainnya akan tetap menerapkan sistem klasifikasi film dalam lingkungan mereka. Sistem ini dinilainya lebih tepat ketimbang yang dilakukan LSF. ”Ini akan jadi kode etik sendiri untuk memberikan atribut pada setiap film yang akan kami produksi,” katanya. ***
LR. Baskoro(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tempo, terbit 5 Mei 2008)***

Jumat, 22 Februari 2008

Gadis di Kereta

MUNGKIN kalian pernah melihatnya -atau mungkin pernah merasa terganggu dengan kehadirannya. Berambut pendek, tubuh yang juga pendek, siapa pun tahu dia memang tidak kanak-kanak. Wajahnya tidak bisa disembunyikan.

Kalian, yang kerap naik kereta api ekonomi Bogor-Jakarta, mungkin kerap melihat dia tersuruk-suruk, kerap menarik lengan penumpang, sembari berujar, “minta uang om....bagi uang om...”

Dia, tubuhnya mungkin sekitar 1.40 sentimeter, memang bukan kanak-kanak. Usianya, kini 17 tahun. Pertama dari tiga bersaudara, adiknya, Yandi dan Yusuf, masih duduk di sekolah dasar. Dan dari uangnya mengemis di kereta itu ia ikut menghidup keluarganya: ibu dan dua adiknya yang berwajah tampan dan bertubuh normal. Sehari, dari meminta-minta di kereta, dia bisa mendapat uang sekitar Rp 50 ribu. Hari minggu ia istirahat di rumah.

Noviana, demikian nama gadis yang kerap muncul di kereta itu. Biasa dipanggil “Novi” oleh ibunya dan sang adik.

Di suatu siang, di stasiun Tanjungbarat, Jakarta Selatan, saya berjumpa dengan ibunya, Sutinah. Perempuan berumur 40 tahun ini berasal dari Desa Bandungan, Magelang, Jawa Tengah.

Perempuan ini telah bercerai dengan suaminya. “Suami saya kawin lagi, saya tidak mau dimadu,” katanya. Kenapa tidak pulang ke Magelang? “Saudara saya memintanya begitu, tapi saya tidak mau. Yang penting saya bisa membesarkan anak saya,” kata Sutinah.

Bersama ketiga anaknya, Sutinah kini tinggal di sebuah gubuk kontrakan di sebuah gang di di daerah Ratu Jaya. Di depan rumahnya ada sebuah langgar. “Anak-anak saya mengaji di sana.”

Dia berkisah tentang Noviana. Putrinya itu, ujarnya, awalnya adalah gadis cilik yang normal. Cerdas dan selalu ceria. Saat itu ia baru punya dua anak. Tak ada kesusahan dalam hidup mereka sehari-hari kendati sang suami bekerja serabutan. “Suami saya kadang-kadang kerja di Pasar Minggu,” ujarnya. Saat itu mereka memang tinggal di sekitar tempat itu.

Lalu, tibalah malapetaka itu. Pada suatu hari di bulan Mei 1998, Jakarta dilanda huru-hara. Penjarahan terjadi di mana-mana. Berbarengan dengan terbakarnya puluhan -atau mungkin ratusan-- ruko, toko, dan juga mall. Pasar Minggu adalah salah satu daerah yang ikut “terbakar.” Massa, entah datang dari mana, berkumpul di sana, dan menjarah sejumlah toko. Penjarahan juga terjadi di sana.

Noviana ada di sana. Ikut bersama bapaknya, Muhamad Amin, melihat “keramaian” massa itu. Dan tiba-tiba, entah dari mana, sesuatu telah membenturnya. “Mungkin gerobak,” kata Sutinah. Noviana terpelanting, semaput. “Kami bawa dia ke rumah sakit. Dia tidak sadar diri selama tiga hari.”

Saya tak bisa membayangkan apa yang dilakukan para dokter dalam kondisi Jakarta seperti itu terhadap keluarga miskin -yang pasti tak memiliki jaminan apa pun untuk kesembuhan anaknya itu. Adakah para dokter telah memberika pelayanan terbagus?, misalnya.

Yang pasti kemudian terjadi dengan sesuatu yang sama sekali tak terbayangkan. Begitu siuman, segalanya berubah. Noviana seperti bukan Noviana yang kemarin. Terjadi kerusakan dalam otak. Kecerdasannya mundur, tubuhnya juga menjadi tak normal pertumbuhannya. “Ia menjadi tak normal,” kata Sutinah.

Noviana adalah salah satu korban huru-hara Mei 1998. Kerusuhan yang juga kemudian menjatuhkan Presiden Soeharto. Kini gadis itu -dalam ketidak normalannya- menjadi penopang keluarga.

Senin, 11 Februari 2008

Tak Harus ke polisi atau Mahkamah Konstitusi

Merasa dihalangi tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Perpajakan. Tindakan yang semestinya tidak perlu.

KETUA Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution, seharusnya tidak perlu buru-buru mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Perpajakan. Kendati auditornya tidak bisa memeriksa data pajak di Direktorat Jenderal Pajak seperti diharapkan, bukan berarti Anwar harus meradang dan memperkarakannya ke Mahkamah Konstitusi. Cara-cara demikian pastilah hanya menciptakan “kerenggangan” antara BPK dan Direktorat Pajak.

Bukan sekali ini saja Anwar Nasution bertikai dengan lembaga yang dianggapnya menutup diri untuk diaudit. Pada September tahun lalu, Anwar melaporkan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, ke polisi dengan tuduhan menghalangi kerja BPK. Kedua petinggi lembaga negara tinggi negara ini pun saling melempar statemen panas di media massa. Perseteruan baru kelar setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan dan menyatakan akan menerbitkan peraturan pemerintah mengenai biaya perkara di Mahkamah Agung.
BPK memang layak menelisik aliran uang di Mahkamah Agung. Dari mana saja, berapa, dan ke mana uang itu mengalir. Selama ini, bukan rahasia lagi, biaya perkara di lembaga peradilan sangat tidak transparan. Para pencari keadilan kerap menjadi bulan-bulanan dengan diwajibkan membayar biaya perkara di luar ketentuan yang ada. Karena itu, BPK harus “masuk” dan mengaudit seluruh lalu lintas uang di MA tanpa kecuali. Siapa tahu, dengan demikian pula, praktek mafia pengadilan yang selama ini santer terdengar di lembaga itu, bisa terbongkar.
Berbeda dengan Mahkamah Agung, Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, memang tak memberi kebebasan BPK memeriksa dokumen wajib pajak, sesuatu yang menurut undang-undang ini wajib dirahasiakan. Namun, bukan berarti peluang BPK tertutup. Menurut Pasal 34 undang-undang tersebut, dengan izin Menteri Keuangan, BPK tetap bisa melakukan tugasnya. Hanya, yang diperiksa pun terbatas, sesuai yang disetujui Menteri Keuangan.
BPK dan Direktorat Pajak sebenarnya sudah mengarah menuju titik temu masalah ini. Kedua lembaga tersebut sudah meneken kesepakatan, memorandum of understanding, untuk merumuskan apa saja dan bagaimana audit pajak dilakukan. Tapi, pembahasan yang sudah berlangsung dua belas kali ini ternyata tak memuaskan Anwar Nasution. Anwar memilih caranya sendiri, membawa masalah ini ke Mahkamah Kostitusi.
Keputusan Anwar ini yang kami sesalkan. Sebagai lembaga penting, kita tahu, tugas BPK, selain berat juga menumpuk. Sementara, sidang pengujian undang-undang tidaklah singkat. Karena itu, membawa masalah seperti ini ke Mahkamah Konstitusi bukan tindakan tepat. Bisa disebut hanya membuang-buang energi. Kesan yang juga muncul: BPK cepat patah arang dalam menjalankan tugasnya.
Seharusnya, Anwar tak perlu emosional, meradang, atau kemudian mengeluarkan pernyataan pedas, jika BPK kesulitan mengaudit suatu instansi. Dicapainya kesepakatan dengan Direktorat Pajak, kendati kemudian tak berlanjut, sudah menunjukkan lembaga ini sesungguhnya terbuka terhadap BPK. Tak tercapainya yang diinginkan Anwar, bisa jadi hanya karena kurangnya komunikasi dan sikap saling menghargai. Sebagai nahkoda BPK, Anwar harus bisa mengatasi hal-hal seperti ini, sehingga dengan demikian BPK tetap bisa menjalankan tugasnya dan Anwar tak habis waktunya hanya untuk mengkritik atau memperkarakan lembaga yang menurut dia emoh diaudit, ke polisi atau Mahkamah Konstitusi.***
Dimuat di Tempo edisi 11-17 Februari 2008