Selasa, 12 Agustus 2008

Ginandjar dan Kasus Balongan

KABAR bahagia itu datang dari Gedung Bundar untuk Ginandjar Kartasasmita. Penyampainya: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Marwan Effendy. Kepada wartawan, Marwan menyatakan kasus dugaan korupsi proyek Export Oriented Refinery (Exor) I Pertamina, Balongan tak bisa diteruskan. “Karena sudah kadaluwarsa,” kata jaksa yang baru lima bulan duduk di kursi “jampidus” tersebut.

Ginandjar yang kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Daerah, adalah salah satu “tokoh” yang sebelumnya dianggap paling bertanggung jawab terhadap kasus ini. Saat kasus ini terjadi, sekitar akhir 1980-an, Ginandjar menjabat Menteri Pertambangan dan Energi, sekaligus sebagai Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP). Karena posisinya itulah, kejaksaan menganggap pria 67 tahun yang berpangkat terakhir marsekal madya ini mengetahui kasus yang membuat negara rugi hampir US$ 200 juta.

Lantaran anggota TNI , kejaksaan lantas berkirim surat ke Markas Besar TNI. Kejaksaan meminta dibentuknya tim koneksitas untuk memeriksa Ginanjar. Surat itu dikirim Kejaksaan Agung pada Januari 2007. Permintaan itu rupanya tak berjawab.

Nah, lantaran tak ada jawaban itulah, perkara ini pun “dimakan waktu.” Menurut Marwan, sesuai pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, masa kadaluwarsa kasus yang diancam hukuman pidana tiga tahun atau lebih adalah 12 tahun. Ada pun jika ancaman hukumannya pidana seumur hidup atau mati, kadaluwarsanya 20 tahun. “Kasus Ginanjar di Balongan itu tidak termasuk pidana seumur hidup atau hukuman mati,” kata Marwan. Menurut Marwan, jika pun kasus itu tindak pidana dengan tuntutan hukuman mati sekali pun, maka juga sudah kadaluwarsa. “Berarti sudah 20 tahun, sudah habis,” ujar Marwan kepada Tempo, Senin pekan lalu, di ruang kerjanya.

Berhentinya perkara ini tak pelak mengejutkan John Waliry, pengacara Tabrani Ismail, mantan Direktur Pengolahan Pertamina. Soalnya, dengan demikian, hanya Tabrani-lah satu-satunya yang menanggung “dosa” skandal korupsi Balongan ini. Tabrani, 70 tahun kini meringkuk di penjara Cipinang, Jakarta Timur. “Jika Ginanjar lolos ini tidak adil,” kata pengacara yang juga bekas jaksa itu.

*

Kasus korupsi Balongan ini bermula pada 1988 ketika Pemerintah berencana membangun kilang minyak di Kecamatan Balongan, Indramayu, Jawa Barat. Kilang anyar tersebut diharapkan bisa mendongkrak pendapatan Pertamina. Pendanaan proyek ini tidak memakai anggaran pemerintah (non-recourse financing), tapi dibiayai seluruhnya dengan hasil kilang.

Untuk merealisasikan proyek ini, dibentuk tim. Tabrani Ismail ditunjuk sebagai ketua tim negoisasi. Tim inilah yang melakukan tawar-menawar harga dengan konsorsium yang terdiri, antara lain, Foster Wheeler, Mitsui dan Japan Gasoline Corp. Nilai proyek ini sekitar US$ 2 miliar. Kerja tim ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris yang diketuai Ginandjar.

Belakangan, terungkap proyek ini ternyata sarat “penggelembungan.” Nilai proyek itu diperkirakan mestinya tak lebih US$ 1,6 miliar. Pembekakan itu karena masuknya biayak konsultasi dan juga pembelian tangki baru. Proyek itu ternyata juga jauh dari untung seperti yang digembar-gemborkan. Sejak diresmikan Mei 1995 hingga 1999, proyek ini merugi tak kurang US$ 35 juta. Bahkan, pada awal beroperasinya, Balongan mesti “turun mesin” berkali-kali lantaran kerap ngadat.

Kasus Balongan ini pun pada 2001 “masuk” Kejaksaan Agung. Sejumlah petinggi Pertamina termasuk Tabrani Ismail dan Direktur Utama Pertamina saat itu, Faisal Abda'oe diperiksa. Menurut Kejaksaan terjadi mark up pada proyek ini sehingga negara rugi sekitar US$ 200 juta atau sekitar Rp 1, 7 triliun.

Belakangan yang diajukan ke Pengadilan ternyata hanya Tabrani. Jaksa mendakwa
Tabrani melakukan korupsi dan menuntut Tabrani 12 tahun penjara. “Padahal, bukan dia yang menetapkan harga, “ ujar John. Menurut John, keputusan tentang harga proyek itu ditentukan tim yang diketuai Ginanjar. “Karena sesuai aturan di Pertamina, kewenangan direktur itu hanya untuk proyek yang nilainya di bawah Rp 1 miliar,” kata John.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menyidangkan kasus ini, ternyata juga menyatakan Tabrani tidak bersalah. Pada 2003 pengadilan memvonis bebas Tabrani. Jaksa mengajukan kasasi. Hasilnya, April 2006 majelis kasasi yang diketuai Bagir Manan “menganulir” putusan pengadilan negeri. Tabrani divonis enam tahun penjara. Ia juga harus membayar ganti rugi US$ 190 juta. Tapi, sebelum dieksekusi, Tabrani kabur. Ia baru tertangkap setahun kemudian oleh tim pemburu korupsi Kejaksaan Agung, yang kemudian mengirimnya ke penjara Cipinang.

*
Di penjara, sebuah tim Kejaksaan mengorek kembali “kasus Balongan” ini dari mulut Tabrani. Di sinilah, menurut sumber Tempo, terungkap peran Ginanjar. Lantaran saat peristiwa itu terjadi, Ginanjar berstatus perwira aktif, maka untuk memeriksa Ginanjar harus sebuah tim koneksitas. Pada Juli 2007 Jaksa Agung Hendarman Supandji pun mengirim surat kepada Panglima TNI untuk meminta pembentukan tim tersebut.

Keterlibatan Ginanjar dalam kasus ini dibenarkan seorang jaksa yang pernah “memegang” kasus Balongan ini. Menurut dia, sebagai Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina peran Ginanjar sangat menentukan, termasuk dalam penentuan nilai proyek. “Sulit jika disebut dia tidak bertanggung jawab,” ujar sang jaksa tersebut.

Ginandjar sebenarnya pernah diperiksa Kejaksaan. Pemeriksaan itu terjadi pada 11 Juli 2002. Tapi, kepada tim jaksa yang memborbardirnya dengan 34 pertanyaan, Ginandjar menyatakan ia tidak melakukan intervensi apa pun pada proyek Balongan ini. “Saya tidak terlibat langsung dalam perencanaan Exor 1 Balongan, karena waktu diangkat jadi Mentamben, proyek itu telah diputuskan Pemerintah,” kata Ginandjar ditanya perihal keterlibatannya atas proyek itu.

Salah seorang jaksa yang memeriksa Ginandjar, Sarjono Turin, menyatakan, saat itu Ginandjar diperiksa sebagai saksi. “Jika akan diperiksa lagi dengan minta izin ke Markas Besar TNI, mungkin itu berkaitan dengan vonis Mahkamah Agung yang menyatakan Tabrani bersalah,” ujar Sarjono yang kini menjadi jaksa Komisi Pemberantas Korupsi itu.

Ditemui Kamis lalu di kantornya di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Marsekal Muda TNI Sagom Tamboen menyatakan, pihaknya memang menerima surat permintaan izin pemeriksaan Ginandjar dari Kejaksaan Agung. “Dalam surat itu status Ginandjar adalah tersangka,” ujar Sagom. Hanya, menurut dia, dari hasil telaah Badan Pembinaan Hukum (Banbinkum) TNI disimpulkan, Ginandjar tidak terlibat kasus Balongan. Dengan dasar itulah, ujar Sagom, pembentukan tim koneksitas yang diminta kejaksaan tidak diperlukan. Sagom yakin, soal ini sudah disampaikan Markas Besar TNI ke Kejaksaan Agung. “Jika tidak, kejaksaan pasti akan mengirim surat kembali.”

Menurut Sarjono jika benar kasus ini kadaluwarsa, maka, otomatis, berarti tidak ada lagi alasan untuk memperkarakan Ginandjar. Artinya, tak ada celah apa pun untuk memeriksa Ginandjar. “Secara hukum tidak bisa lagi,” ujarnya.

Pendapat berbeda dilontarkan pakar pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita. Menurut Romli, kasus Balongan yang “menjerat” Ginandjar itu belum kadaluwarsa. “Kadaluwarsa itu dihitung dari penuntutan,” ujarnya. “ Dan Ginandjar selama ini masih sebagai saksi.” Menurut Romli, karena putusan terhadap Tabrani sudah bersifat tetap, putusan itu jelas bisa dipakai untuk memeriksa Ginandjar. “Karena Tabrani itu didakwa melakukan korupsi bersama-sama.” Romli menegaskan, jika Kejaksaan tetap ngotot menyatakan kasus ini kadaluwarsa, maka Komisi Pemberantasan Korupsi harus harus mengambil alih kasus ini. “Ini kewajiban KPK,” ujar Romli.

Ginandjar sendiri tampaknya tak mau lagi dirinya “diingatkan” dengan kasus Balongan tersebut. Ditemui wartawan Tempo, Alwan Ridha Ramdani, seusai memberikan ceramah di Universitas Parahyangan, Bandung, Kamis pekan lalu, ia menutup mulutnya rapat-rapat. “Dikejar” hingga ke tempat parkir mobilnya, ia tetap tak menjawab satu pun pertanyaan yang berkaitan dengan kasus Balongan. “Jangan bicarakan itu,” ujarnya, sesaat sebelum naik mobil. Dan, wuss, Ginandjar pun melesat pergi. ***
LR. Baskoro, Munawwaroh, Gabriel Yoga, Rini Kustiani
(Artikel ini dimuat di Majalah Tempo yang terbit pada 11 Agustus 2008)