Jumat, 24 Oktober 2008

Syekh Puji

Syekh Puji

JIKA Pujiono Cahyo mendapat perhatian lantaran ulahnya menikahi gadis-gadis cilik, maka itu sangat wajar. Syekh Puji, demikian pria ini asal Semarang ini dipanggil -sayang tidak dikabarkan kapan dan kenapa ia mendapat gelar syekh” diberitakan akan menikahi tiga gadis cilik, masing-masing berumur 12 tahun, 9, dan tujuh. Gadis cilik dalam arti sesungguhnya karena, dengan umur baru segitu, di belahan bumi mana pun, tentu kita menyebut mereka “bocah,” bukan remaja.

Di antara tiga orang itu, gadis cilik berumur 12 tahun diberitakan telah dikawininya. Puji mengumumkan pernikahannya itu di depan sebuah pertemuan. Tapi, belakangan ia membantah. Ia hanya menyatakan baru “akan” menikahinya. “Saya senang dengan yang kecil,” katanya kepada media.

Pujiono boleh berdebat tentang kebolehan seorang menikah seorang gadis yang belum akil balik dari
sudut agama Islam. Ia bisa memberi sederet contoh ulama-ulama -atau bahkan nabi- yang menikahi gadis saat gadis itu belum tahu apa itu mens, apa itu hubungan suami istri, apalagi apa itu arti “istri.” Dan di atas semua itu, Pujiono bukan nabi.

Pujiono memberi berbagai argumentasi lain tujuannya menikahi para bocah itu. Bocah itu sudah setuju, orangtuanya juga setuju, ia akan mendidik mereka menjadi “istri yang hebat,” dan karena itu: ia sendiri yang akan mendidiknya -dari kecil- agar tidak terpengaruh hal-hal yang tak baik. Tentu tak baik versi Pujiono. Sesuatu yang terdengar mulia, tapi sesungguhnya menakutkan. Menyiratkan ada sikap otoriter di balik semua itu.

Saya termasuk yang mencurigai -juga mencela- kelakuan Pujiono itu. Dasarnya sederhana: perkawinan adalah keiklasan dua pihak. Kebersediaan dua pihak yang saling memahami untuk masing-masing diikat. Dikurangi haknya demi yang lain. Agama mengajarkan itu. Undang-Undang Perkawinan 1974 menuliskan soal itu. Lalu, untuk bocah umur 7, 9, dan, 12 tahun, para anak-anak kampung itu, tahu apakah mereka tentang semua itu: arti “istri,” arti “suami,” bahkan arti “kawin siri” itu sendiri.

Anak-anak itu, seperti orang tua mereka, bisa jadi adalah korban kekaguman terhadap apa yang mereka lihat: seorang Puji, seorang syekh yang menguasai ilmu agama, yang kaya raya, yang dermahan. Lalu, dalam kondisi seperti ini para orangtua bersedia anak-anak mereka -atau bahkan menyorongkannya- ke pria yang mereka kagumi. Pujiono mengingatkan kita kepada Aa Gym, yang dulu juga mengaku kerap ditawari orangtua agar mau menjadi menantu mereka kendati mereka tahu Gym telah punya anak lebih dari lima ( dan akhirnya kita tahu Gym pun kawin lagi, tidak dengan bocah seumuran anaknya, tapi janda cantik).

Pujiono bukankah ustad, ulama dalam arti sesungguhnya di mata saya. Ulama adalah menolong. Ulama mengerti arti “masa kecil seseorang adalah sesuatu yang paling bermakna dan paling berbahagia dalam hidup seseorang.” Ulama mengerti, merampas itu semua adalah menghianati hak asasi manusia, dan Islam agama paling depan melawan penindasan HAM. Jika atas nama menolong, Pujiono lebih baik menolong orang tua mereka, menyekolahkan mereka, atau mengambil mereka menjadi anak asuh. Tidak mengawini mereka. Dalam konteks ini kita bisa curiga dengan pernyataan Puji,”Saya memang senang anak kecil.” Adakah sesuatu yang lain di dalam diri pria yang katanya pernah mendermakan uangnya Rp 1,3 miliar ini? (Dari mana pula media mendapat fakta ia mengeluarkan sumbangan sebesar Rp 1,3 M).

Dalam kasus ini, tak perlu kita membawa Undang-Undang Perlindungan Anak, KUHP, atau pun UU Hak Asasi Manusia untuk menghentikan hasrat Puji mengawini gadis cilik-cilik itu. Cukup dari segi agama Islam, agama yang dianut Puji itu, Puji seharusnya bertanya kepada dirinya sendiri. Kenapa ia sangat yakin, tanpa dia, anak-anak itu tak akan menjadi anak-anak hebat. Bukankah ini berarti ia mendahului kehendak yang di atas. Bukankah artinya ia lebih tahu dari Tuhan. Jika sudah begitu, patutkan ia mendapat sebutan ulama, syekh, ustad dsb? (LR.Baskoro)

Jumat, 17 Oktober 2008

RUU Pornografi dan Pasal-Pasal Yang Diprotes

MEREKA datang dari berbagai pelosok Surakarta. Senin lalu, sembari membawa lidi yang di ujungnya tertancap bawang merah dan cabai, seratusan seniman yang tergabung dalam Solo Rayakan Keberagaman (Sorak) tersebut mendatangi gedung DPRD Kota Surakarta. ”Jika disatukan, lidi ini bisa membersihkan, sehingga membuat pikiran jernih,” kata Suprapto, pengasuh Padepokan Lemah Putih, Solo. Lidi-lidi, sebagai simbol tolak bala itu, lantas mereka tancapkan ke batang pisang yang mereka geletakkan di bawah tiang bendera gedung DPRD.

Para seniman Solo itu tidak sedang menggelar pentas seni. Mereka tengah menuntut wakil rakyat membawa aspirasi mereka ke Jakarta: menolak Rancangan Undang-Undang Pornografi. Menurut Suprapto, Rancangan tersebut merupakan produk tidak jernih dan berpotensi menciptakan konflik. Kepada para tamunya, Ketua DPRD Kota Surakarta, Hariadi Saptono, berjanji bakal membawa aspirasi para seniman ke para anggota DPR di Jakarta. ”Akan kami bawa secepatnya,” ujar Hariadi.

Rabu pekan lalu, protes terhadap Rancangan Undang-Undang yang sama juga ”meletus” di Denpasar. Sekitar seribu warga Denpasar yang dikoordinir Komponen Rakyat Bali menggelar pawai unjukrasa di lapangan Renon.

Ini bukan pertamakalinya Bali menolak Rancangan Undang-Undang tersebut. Pada 2006 silam, saat Rancangan ini mulai ”terdengar nyaring” di masyarakat, puluhan tokoh Bali juga berdemo, menentang, dan memperingatkan pemerintah tentang bahayanya undang-undang itu jika diterapkan. ”Sekarang namanya berubah, tapi substansinya tetap saja sama,” ujar budayawan Bali, Sugi B. Lanus, yang memimpin aksi di lapangan Renon itu.

Rancangan Undang-Undang Pornografi itu kini memang sudah di ujung waktu pengesahan. Walau mendapat protes keras dari masyarakat, panitia khusus Rancangan ini jalan terus. ”Undang-undang ini telah mengakomodir semua kepantingan masyarakat,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tersebut, Yoyoh Yusron. Menurut Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang ini, Balkan Kaplale, RUU ini memang tinggal ”diketuk” saja.

Berbeda dengan setahun silam, rancangan undang-undang perihal pornografi tersebut kini memang muncul dengan ”judul” baru. Jika dulu namanya ”Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi,” sekarang bersalin jadi ”Undang-Undang Pornografi.” Jumlah pasalnya juga menyusut. Jika dulu 93 pasal, sekarang kempis, tinggal 44 pasal.

Sejumlah pasal kontroversial yang dimuat pada rancangan pertama sudah tanggal. Pasal 58 yang berisi ancaman penjara lima tahun bagi siapa pun, baik lewat tulisan maupun gambar yang mengekspresikan daya tarik tubuh tertentu yang sensual, misalnya, sudah lenyap. Pasal inilah yang dulu membuat geram pelukis Cak Kandar. “Kalau lukisan orang telanjang disebut pornografi, ini bahaya,” teriak Cak Kandar saat memprotes Rancangan Undang-Undang tersebut di DPR.

Kendati Panitia Khusus mengaku sudah menggodok semua masukan dari masyarakat, toh subtansi Rancangan Undang-Undang ini tetap dianggap tak beda jauh dengan rancangan pertama yang memancing kecaman dari sana-sini itu.

Definisi tentang pornografi misalnya, tetap saja ”abu-abu,” alias bisa mengandung multi tafsir. ”Konsep pornografi tidak jelas,” ujar Emmy Sahertian, Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, organisasi yang menolak Rancangan Undang-Undang itu.

Rancangan ini juga tetap dinilai tidak melihat kekhususan daerah lain, seperti, Papua atau Bali. Dengan definisi semacam, ”setiap orang dilarang mempertontonkan diri di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,” misalnya, turis asing yang mandi matahari di pantai Kuta pun bakal bisa ditangkap dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Pornografi. Sejumlah seniman patung Bali juga resah, lantaran patung-patung mereka bisa saja dikategorikan benda porno. ”Saya mengharap Rancangan Undang-Undang Pornografi ini menghargai nilai-nilai yang hidup di daerah,” kata Gubernur Bali, Made Mangku Pastika.

Undang-Undang ini memang memberi kekhususan kepada seni budaya yang selama ini bisa diklasifikasikan berbau pornografi. Tapi, seniman wayang kulit Solo, Sugeng Nugroho, menuding pasal 14 yang memberi kekhususan kepada seni budaya tersebut sebagai pasal ”seolah-olah.” ”Ranjau” tentang ini, ujarnya, berada pada pasal berikutnya. Pasal 15 mengatur bagaimana ketentuan pasal 14 itu boleh berlaku. Jika ini dilanggar maka, menurut Undang-Undang ini, pelakunya bisa dipenjara hingga 12 tahun atau denda hingga Rp 5 miliar.

Ancaman pidana Rancangan Undang-Undang ini memang cukup berat. Mereka yang dianggap telanjang atau mempertontonkan ketelanjangan di muka umum, misalnya, bisa dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Ada pun mereka yang men-down load alias mengambil gambar yang bersifat pornografi dari internet, bisa dibui selama empat tahun atau harus membayar denda hingga Rp 2 miliar rupiah.

Perlawanan dari dalam terhadap rancangan undang-undang pornograsi edisi terbaru ini bukannya tak ada. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Damai Sejehtera, misalnya, menolak Rancangan tersebut. Kedua fraksi tersebut kukuh pada tuntutan mereka. Rancangan itu, mestinya, hanya mengatur tentang distribusi benda-benda berbau pornografi. ”Kami menolak Rancangan Undang-Undang tersebut,” ujar Tiurlan B. Hutagaol, anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera.

Kini memang berpulang kepada para wakil rakyat. Yang pasti, seperti ujar gubernur Bali Made Mangku Pastika, memang tak ada artinya jika undang-undang itu disahkan, tapi tidak bisa diterapkan atau justru menimbulkan kekisruhan. Sikap yang sama disuarakan Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono. Meutia minta DPR tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan itu.***
LR. Baskoro, Eko Ari Wibowo, Ahmad Rafiq (Solo), dan Rofiki Hasan (Denpasar). (Dimuat di Majalah Tempo, 25 September)




Inilah sejumlah pasal yang menimbulkan kontroversi

Pasal 1
Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukkan di muka umum yang dapat membangkitkan seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

-Definisi ini dinilai kabur. Frasa ”yang dapat membangkitkan seksual,” tidak jelas dan subyektif.” Seni pertunjukkan masyarakat atau lukisan, misalnya, sangat rentan dianggap melanggar pasal ini.

Pasal 4
1)Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan pornografi yang memuat:
a.persenggamaan, termasuk persenggamaan menyimpang
b.kekerasan seksual
c.masturbasi atau onani
d.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan atau
e.alat kelamin

-Definisi ”mengesankan ketelanjangan” tidak jelas dan menimbulkan tafsir subyektif.

Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)

Dengan definisi kabur pada pasal 4, pasal ini rentan untuk mengirim siapa pun kedalam bui karena dituduh, misalnya, mengambil foto dari internet yang ”mengesankan ketelanjangan.”

Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukkan atau dimuka umum yang menggambarkan ketelanjangan, ekploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

-Defini istilah ”ketelanjangan,” ”eksploitasi seksual,” ”bermuatan pornografi” tidak jelas dan mengandung tafsir subyektif. Mereka yang memakai baju ketat atau memakai kaos berilustrasi karikatur yang dianggap gambar telanjang pun bisa dianggap melanggar pasal ini, tidak perduli apakah itu berada di mall, pertokoan, atau di pantai.

Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

-Pasal ini dianggap berbahaya karena memberi peluang siapa pun, atas nama memerangi ”pornografi,” untuk bertindak main hakim sendiri. ***

LRB
sumber: riset, wawancara