Rabu, 07 Mei 2008

Sensor Film Indonesia

Mahkamah Konstitusi menolak pencabutan pasal-pasal yang berkaitan dengan sensor film. Sejumlah sineas akan menerapkan sistem klasifikasi film di lingkungan mereka sendiri.

***

SUTRADARA Film Riri Riza memilih mengalah. Siang itu, di Gedung Mahkamah Konstitusi, bersama-sama sejumlah rekannya, antara lain sutradara Mira Lesmana, ia berencana membuat konferensi pers. Puluhan wartawan sudah berkumpul. Mereka ingin mendengar “pernyataan” sutradara muda ini perihal putusan yang baru beberapa menit sebelumnya “diketuk” Mahkamah Konstitusi.

Tapi, belum lagi acara itu digelar puluhan orang anggota Front Pembela Islam (FPI) datang menghambur. Mereka mengepung Riri dan rekan-rekannya, berteriak-teriak meminta “acara jumpa pers” tidak dilakukan. “Jangan demonstrasi di sini,” teriak seorang di antaranya dengan lantang.

Para sutradara muda itu tidak melakukan perlawanan. Mereka memilih mengalah, pergi ke lantai dua. Di situ, di sebuah sudut ruang, para wartawan memberondong Riri dengan berbagai pertanyaan seputar ditolaknya gugatannya meminta Lembaga Sensor Film dibubarkan.

*

RABU pekan lalu, sidang putusan yang berlangsung di gedung Mahkamah Konstitusi itu memang rada istimewa. Para ”tamu” yang datang ke ruang sidang tak hanya artis, sutradara, dan pengamat film, tapi juga puluhan anggota Front Pembela Islam. Hari itu Mahkamah akan memutuskan permohonan uji materi yang diajukan Riri dan sejumlah rekannya. Kepada Tempo yang menemaninya berangkat ke Gedung Mahkamah Konstitusi, sebelumnya, Riri menyatakan pesimistis ”gugatannya” diterima.

”Ramalan” Riri terbukti. Mahkamah menolak gugatan yang mereka ajukan. Menurut Mahkamah, Lembaga Sensor Film tetap konstitusional sepanjang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

Kendati demikian, dalam soal keberadaan Undang-Undang Perfilman itu, para hakim sepakat undang-undang itu perlu diperbaiki. ”Undang-Undang ini, termasuk ketentuan yang mengatur tentang sensor, sudah tak sesuai dengan semangat zaman,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Begitu Jimly selesai membacakan putusannya, puluhan anggota FPI yang berada di balkon berteriak ”Allahu Akbar....”

Keputusan para hakim pengawal konstitusi ini tak bulat. Hakim Laica Marzuki memiliki pendapat berbeda (disenting opinion). Laica menegaskan, lembaga sensor harus dibubarkan. Menurut Laica, lembaga ini telah menghalangi hak setiap orang mengeluarkan pikiran, baik dengan lisan maupun tulisan.”Bumi tidak bakal berhenti beredar tatkala lembaga sensor film dibubarkan,” ujarnya.

Urusan sensor film inilah yang digugat para penggiat film yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI). November lalu, Riri bersama beberapa anggota MFI lainnya, Annisa Nurul Shanty (artis), Nia Dinata, Direktur Jakarta Internasional Film Festival Lalu Rois Amriradhiani, dan sutradadara Tino Saroenggallo, meminta Mahkamah melakukan uji materi terhadap Undang-Undang tentang Perfilman (UU No.8/1992).

Kelimanya meminta Pasal 1, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40 dan Pasal 41 yang berkaitan dengan sensor ”dirontokkan.” Pasal-pasal itu, menurut mereka bertentangan, dengan hak konstitusional, melanggar pasal 28 UUD yang mengatur kebebasan berekspresi. Jika pasal ini dicabut, otomatis, Lembaga Sensor Film (LSF) bakal hilang pula.

Para sineas menuding kewenangan Lembaga ini kelewatan. ”Mereka bertindak otoriter,” ujar Riri. Sejumlah filmnya, Kuldesak, Tiga Hari Mencari Cinta, atau Gie, pernah berurusan dengan lembaga ini. Adegan ciuman dalam film Gie , film tentang kehidupan tokoh mahasiswa Soe Hok Gie, misalnya, ”digunting” Lembaga Sensor Film dengan alasan menimbulkan nafsu.“Padahal, ada hal lain yang ingin diperlihatkan di situ,” kata alumnus Media Arts Department, Royal Holloway University, Inggris, ini.

Sutradara Tino Saroenggalo juga punya pengalaman buruk dengan film dokumenternya, The Student Movement in Indonesia. Salah satu adegan dalam film yang bercerita aksi-aksi mahasiswa pada 1998 itu, seorang tentara yang menendang seorang mahasiswa yang terkapar, dilibas gunting LSF. ”Dengan pemotongan itu, penonton tak akan pernah tahu mahasiswa itu masih hidup atau sudah meninggal,” katanya.

Digelar sejak awal tahun lalu, sejumlah saksi ahli dipanggil untuk didengar komentarnya perihal keberadaan Lembaga Sensor Film. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, misalnya, tetap mendukung adanya lembaga ini. ”Kalau pemohon tidak puas dengan kinerja LSF, seharusnya pemohon berkoodinasi dengan LSF agar aspirasi mereka tertampung,” ujar Jero.

Pakar hukum Nono Anwar Makarim punya pandangan berbeda dengan Jero. Menurut Nono, yang juga tampil sebagai saksi ahli, Lembaga Sensor Film berpotensi menjadi lembaga yang sangat berkuasa. Menurut Nono, ada empat kunci dalam pengertian sensor yang bisa membuat LSF sangat kuat: mengantongi kewenangan meneliti, menilai, menentukan, sekaligus meniadakan. Kewenangan seperti ini, ujar Nono, bagaikan pengadilan dengan satu pihak penentu keputusan tunggal. ”Saya tak setuju ini yang menentukan LSF,” katanya.

Kendati beragam saksi dan contoh film yang disensor dihadirkan, toh kenyatannya delapan dari sembilan hakim konstitusional beranggapan pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 8/1992 itu tak bertentangan dengan konstitusi. ”Kami bersyukur. Seandainya saja LSF itu dibubarkan, berarti kita kembali ke masa hutan belantara lagi,” kata Ketua Lembaga Sensor Film, Titi Said. Menurut Titi, lembaganya tetap tidak memberi toleransi terhadap film-film yang dinilai melanggar kesusilaan dan moralitas.

Kendati upayanya ”merontokkan” Lembaga Sensor Film” gagal, Riri Riza menyatakan ia dan para sineas lainnya akan tetap menerapkan sistem klasifikasi film dalam lingkungan mereka. Sistem ini dinilainya lebih tepat ketimbang yang dilakukan LSF. ”Ini akan jadi kode etik sendiri untuk memberikan atribut pada setiap film yang akan kami produksi,” katanya. ***
LR. Baskoro(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tempo, terbit 5 Mei 2008)***