Selasa, 10 Juni 2008

Ekspresi Piala Eropa

SAYA paling senang menikmati foto-foto yang memperlihatkan ekspresi pendukung suatu kesebelasan. Dalam kejuaraan piala Eropa ini pun, jika membuka lembaran edisi khusus pertandingan sepakbola itu, saya selalu membutuhkan waktu lebih lama di halaman yang berisi esai foto-foto yang merekam ekspresi para pendukung masing-masing kesebelasan itu.

Foto ekspresi. Ya, memang semata foto ekspresi. Foto yang merekam dan menonjolkan ekspresi mereka yang dengan mata kepala sendiri, melihat momen penting yang dilakukan kesebelasan pujaannya. Selalu ada sesuatu yang gampang kita terjemahkan atau, sebaliknya, sulit kita terjemahkan dari melihat wajah-wajah itu. Dan saya selalu menikmati keasyikan untuk mengira-ngira, apa sih perasaan atau pikiran mereka saat itu. Bagi saya ekspresi dalam hitungan detik itu merupakan puncak komulatif dari rangkaian stimulus pikiran dan semua urat syarat mereka. Juga mewakili dari isi hati dan kepala ratusan ribu atau jutaan pendukung kesebelakan itu.

Dan fotografer adalah orang paling pintar untuk memburu hal-hal demikian. Saya tahu, hampir semua fotografer memiliki keinginan yang sama untuk merekam -atau mencari- momen demikian dalam setiap suatu pertandingan. Tapi, tak semua fotografer bisa mendapatkan foto yang benar-benar menggugah. Saya yakin nasib baik dan ketekunan dibutuhkan di sini.

Koran Tempo edisi 9 Juni 2008 memperlihat wajah-wajah para pendukung kesebelakan Swiss saat kesebelasan mereka ditekuk kesebelasan Republik Cek. Gadis cantik yang menangkupkan dua tangannya di depan mulutnya setengah terbuka --saya menduga dia mugkin menngucapkan “Oh my god....” .Juga seorang gadis remaja yang memasukkan jari-jarinya ke mulutnya. Yang terakhir ini saya tak bisa menebak, apakah ia melakukan itu saat setelah tahu kesebelasan pasti kalah, atau sedang melihat sesuatu momen yang penting. Misalnya, terjungkalnya pemain pujaan mereka, Alexander Frei. Tapi, saya mennyimpulkan, memasukkan sejumlah jari ke mulut, mungkin itulah kebiasaan remaja perempuan ini jika menghadapi hal-hal yang menggetarkan dalam hidupnya.

Demikian juga dua bocah, mungkin mereka kembar, yang umurnya mungkin sekitar 4 tahunan. Digendong, masing-masing oleh ayah dan ibunya, mereka menatap dengan wajah duka ke sebuah tempat, yan menurut saya, adalah televisi raksasa yang menayangkan pertandingan sepakbola itu. Saya tak tahu, apakah bocah itu tahu siapa yang bertanding -kendati pipinya dihiasi corengan bendera swiss dan juga mengalami kesedihan seperti kedua orang tuanya. Jika tidak mengerti, bisa jadi aura kesedihan di sekitarnya, yang dipancarkan ribuan pendukung Swiss, berhasil hingga pula pada tubuh dua bocah ini.

Momen dalam hitungan detik yang pasti diambil tanpa disadari oleh sang obyek itu memang merupakan sejarah. Fotografer olahraga selalu tak pernah menghilangkan momen-momen sejarah seperti ini. Mereka mencari, memburu dan, tekun menanti berjam-jam untuk menemukan momen seperti itu. L.R.Baskoro (10/6/08)