Jumat, 25 Juli 2008

Opini: Ryan dari Jombang

Oleh: LR. Baskoro

Para komunitas homoseksial langsung bereaksi ketika media menghubungkan serentetan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan (Verry Idhan Henyaksyah) dengan orientasi Ryan sebagai homoseksual.

Hal yang wajar memang. Media selalu berupaya menonjolkan sesuatu yang menarik di balik sebuah peristiwa. Dan Ryan yang homoseksual adalah kenyataan yang “seksi” untuk diberitakan. Kendati, sampai sekarang, kita belum mendengar pengakuan Ryan sendiri: “Saya memang seorang homoseksual, kok. Posisiku biasa sebagai buttom (perempuan),” misalnya.

Tapi, saya setuju media harus jernih untuk cepat tidak membuat stigma kasus Ryan ini sebagai kencenderungan seorang homoseksual, yakni, membunuh dengan sadistis. Bahwa Ryan membunuh teman kencanya, Heri Santoso di Apartemen Margonda pada Jumat 11 Juli 2008 adalah fakta. Bahwa, ada sekitar empat mayat -semua lelaki- di belakang rumahnya di Dusun Maijo, Desa Jati Wates, Jombang, Jawa Timur, adalah fakta.

Tapi, langsung menembak ini adalah “ulah seorang homoseksual” memang menyakitkan untuk mereka yang memiliki kondisi seks semacam ini. Saya tidak menyalahkan para jurnalis. Jurnalis memang harus belajar -karena kelengahan yang baru disadari belakangan. Seperti, misalnya, mereka juga tanpa sadar menulis jelas-jelas nama seorang anak di bawah umur lengkap dengan alamat dan sekolahnya -sesuatu yang dilarang oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

Dalam kasus Ryan, wartawan sebaiknya menempatkan Ryan murni sebagai orang yang diduga melakukan pembunuhan. Yang bisa didiskusikan dalam kasus ini adalah, apakah misalnya dia seorang psikopat atau, orang normal biasa, yang kepepet karena kondisi ekonomi, dan lantas membunuh.

Orang-orang seperti Ryan jelas mencemaskan dan meresahkan masyarakat. Pekan lalu saya mendatangi apartemen Margonda, yang tak jauh dari stasiun kereta api Depok, Universitas Indonesia. Apartemen ini memiliki tak kurang dari 800 kamar. Ahai, inilah privacy orang hidup di kota besar. Anda tidak diganggu siapa pun jika memiliki kamar senilai Rp 130-an juta di sini. Tetangga kiri-kanan Anda tidak ada yang menggubris Anda jika, Anda membawa siapa pun ke kamar Anda. Dengan kondisi ini, tak heran jika Ryan bisa dengan mudah membunuh Heri dan tak ada mengetahuinya. Satu-satunya yang merepotkan adalah mengeluarkan mayat korban pembunuhan itu. Dan Ryan melakukan dengan konvensional: memotong-motongnya sehingga mudah dimasukkan ke dalam koper dan tak dicurigai oleh satpam dan supir taksi yang disewanya.

Karena itu, yang diperlukan untuk kita, untuk masyarakat, adalah bagaimana kita bisa mengenali orang-orang bertipe Ryan ini. Tentu, supaya tak ada korban lagi. Apakah, misalnya, orang seperti ini bisa dideteksi dari perilaku mereka? Bicaranya, gerak-geriknya? Jika pun bisa terdektesi, pertanyaan selanjutnya: bisakah orang-orang demikian disembuhkan.

Juga yang tak kalah pentingnya, media menurut saya perlu mencari tahu bagaimana orang-orang demikian menjebak korbanya. Sesuatu yang berguna bagi siapa pun untuk terhindar dari hal-hal semacam ini. Kasus “Ryan van Jombang” ini harus memberi pelajaran bagi masyarakat dan negara -bagaimana negara mengatasi jika memiliki warga negara berpenyakit psikopat, misalnya.

Pertanyan inilah yang mesti juga diberitakan media massa. Karena, tentu siapa pun, tak ingin lahir di dunia ini sebagai orang yang oleh masyarakat digolongkan tak normal. ***

Ryan dari Jombang

Oleh: LR. Baskoro


Para komunitas homoseksial langsung bereaksi ketika media menghubungkan serentetan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan (Verry Idhan Henyaksyah) dengan orientasi Ryan sebagai homoseksual.

Hal yang wajar memang. Media selalu berupaya menonjolkan sesuatu yang menarik di balik sebuah peristiwa. Dan Ryan yang homoseksual adalah kenyataan yang “seksi” untuk diberitakan. Kendati, sampai sekarang, kita belum mendengar pengakuan Ryan sendiri: “Saya memang seorang homoseksual, kok. Posisiku biasa sebagai buttom (perempuan),” misalnya.

Tapi, saya setuju media harus jernih untuk cepat tidak membuat stigma kasus Ryan ini sebagai kencenderungan seorang homoseksual, yakni, membunuh dengan sadistis. Bahwa Ryan membunuh teman kencanya, Heri Santoso di Apartemen Margonda pada Jumat 11 Juli 2008 adalah fakta. Bahwa, ada sekitar empat mayat -semua lelaki- di belakang rumahnya di Dusun Maijo, Desa Jati Wates, Jombang, Jawa Timur, adalah fakta.

Tapi, langsung menembak ini adalah “ulah seorang homoseksual” memang menyakitkan untuk mereka yang memiliki kondisi seks semacam ini. Saya tidak menyalahkan para jurnalis. Jurnalis memang harus belajar -karena kelengahan yang baru disadari belakangan. Seperti, misalnya, mereka juga tanpa sadar menulis jelas-jelas nama seorang anak di bawah umur lengkap dengan alamat dan sekolahnya -sesuatu yang dilarang oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

Dalam kasus Ryan, wartawan sebaiknya menempatkan Ryan murni sebagai orang yang diduga melakukan pembunuhan. Yang bisa didiskusikan dalam kasus ini adalah, apakah misalnya dia seorang psikopat atau, orang normal biasa, yang kepepet karena kondisi ekonomi, dan lantas membunuh.

Orang-orang seperti Ryan jelas mencemaskan dan meresahkan masyarakat. Pekan lalu saya mendatangi apartemen Margonda, yang tak jauh dari stasiun kereta api Depok, Universitas Indonesia. Apartemen ini memiliki tak kurang dari 800 kamar. Ahai, inilah privacy orang hidup di kota besar. Anda tidak diganggu siapa pun jika memiliki kamar senilai Rp 130-an juta di sini. Tetangga kiri-kanan Anda tidak ada yang menggubris Anda jika, Anda membawa siapa pun ke kamar Anda. Dengan kondisi ini, tak heran jika Ryan bisa dengan mudah membunuh Heri dan tak ada mengetahuinya. Satu-satunya yang merepotkan adalah mengeluarkan mayat korban pembunuhan itu. Dan Ryan melakukan dengan konvensional: memotong-motongnya sehingga mudah dimasukkan ke dalam koper dan tak dicurigai oleh satpam dan supir taksi yang disewanya.

Karena itu, yang diperlukan untuk kita, untuk masyarakat, adalah bagaimana kita bisa mengenali orang-orang bertipe Ryan ini. Tentu, supaya tak ada korban lagi. Apakah, misalnya, orang seperti ini bisa dideteksi dari perilaku mereka? Bicaranya, gerak-geriknya? Jika pun bisa terdektesi, pertanyaan selanjutnya: bisakah orang-orang demikian disembuhkan.

Juga yang tak kalah pentingnya, media menurut saya perlu mencari tahu bagaimana orang-orang demikian menjebak korbanya. Sesuatu yang berguna bagi siapa pun untuk terhindar dari hal-hal semacam ini. Kasus “Ryan van Jombang” ini harus memberi pelajaran bagi masyarakat dan negara -bagaimana negara mengatasi jika memiliki warga negara berpenyakit psikopat, misalnya.

Pertanyan inilah yang mesti juga diberitakan media massa. Karena, tentu siapa pun, tak ingin lahir di dunia ini sebagai orang yang oleh masyarakat digolongkan tak normal. ***