Selasa, 03 Februari 2009

In Memoriam Yusril Djalinus

SEORANG tokoh Majalah Tempo Yusril Djalinus, meninggal dunia. Kemarin, di tengah rintik hujan, saya ikut mengantarkannya ke liang lahat, tempat peristirahatannya terakhir, di pemakaman umum Genteng,Pasar Senen, Purwakarta. Ia dimakamkan di bawah sebatang pohon, di dekat adik wanitanya, yang meninggal lebih dulu. “Seharusnya saya yang pergi duluan, “ kata Goenawan Mohamad saat melepas kepergian jenasahnya di “rumah kedua” Yusril di Jalan Kapten Halim, Purwarkata.

Di kota tempatnya dibesarkan ini, Yusril memiliki semacam vila keluarga. Setiap Sabtu dan Minggu, bersama istri, anak, cucu dan sekitar sebelas guru bahasa Inggris, mereka menginap di tempat itu. Di sana ia membuka kursus bahasa Inggris, yang muridnya, kini sekitar 200 orang, kebanyakan murid SD dan SMP. Kursus itu, di hari Sabtu dan Minggu, digelar di udara terbuka atau di dalam semacam saung-saung mungil yang dibangunnya bersama istrinya.

Saya mengenal Bang Yusril, demikian saya memanggilnya, sekitar 18 tahun silam. Saat itu saya, yang baru lulus kuliah, diterima di Majalah FORUM Keadilan. Saat saya mendatangi majalah itu di Velbak (yang kini menjadi kantor Koran Tempo), baru saya tahu, majalah FORUM itu menerima reporter karena akan diterbitkan dalam bentuk baru. Menjadi majalah komersil, hasil kerjasama dengan penerbit Majalah Tempo.

Pemilik Tempo mengirim, seingat saya tiga orang penting awaknya untuk membangun majalah yang sebelumnya milik Kejaksaan Agung tersebut. Karni Ilyas sebagai pemimipin redaksi, Sukardi Darmawan sebagai kepala pemasaran (kini bos Majalah Info Kelapa Gading), dan Yusril Djalinus.

Kami tidak tahu persis dalam kapasitas apa Bang Yusril di redaksi. Ia tidak memiliki jabatan, tapi nyaris selalu hadir dalam rapat redaksi dan juga rapat managemen FORUM. Tapi, jelas, ia memiliki peran penting. Bahkan, menurut saya, sangat penting. –Mungkin semacam wakil manajemen Tempo.

Selain Bang KI (demikian kami memanggil Karni Ilyas) dan Yusril, di FORUM baru ini ada pula Panda Nababan, mantan wartawan Sinar Harapan yang kini jadi petinggi di PDI-P.

Saya kira tiga orang inilah yang mewarnai FORUM, membuat FORUM melesat, sehingga di masa jaya, oplahnya pernah di atas 120 ribu.

Bang Yusril, seperti halnya, kebanyakan wartawan senior Tempo, memiliki kejelian menciptakan angle yang luar biasa. Saya teringat saat kami rapat perencanaan. Di tengah-tengah rapat dengan kami para reporter kroco, ia mengeluarkan selarik kertas dari saku bajunya. Ia membacakan sejumlah berita-berita menarik yang didapatnya dari surat kabar. “Berita-berita ini layak dikembangkan dan cocok untuk Forum,” katanya.

FORUM saat itu laris karena, antara lain, keberanian dan kesuksesannya menembus sejumlah sumber berita. Karena itulah, biasanya cover majalah itu adalah tokoh yang diwawancarai. Dalam rapat-rapat sebelum mencari narasumgber itu, Bang Yusril selalu menyampaikan hal yang menurut dia sangat penting, yakni, “bagaimana kita menjual pertanyaan. “ Belakangan, saya sadar ini memang pertanyaan yang ditujukan untuk “berjualan.” Untuk dijual.

Seingat saya, ada beberapa tokoh yang terhenyak saat kami mewawancarai mereka dengan “pertanyaan menjual” versi didikan Bang Yusril itu. Misalnya, “Benarkah Anda menolak ditugaskan Soeharto menjadi duta besar? (pertanyaan untuk Benny Moerdani) atau “Benarkah Anda dipecat karena melawan Soeharto?” Betulkan Anda sakit hati dengan Soeharto? Memang dulu Anda bersekongkol mau melawan Pak Harto (pertanyaan untuk Letnan Jenderal Soemitro). Atau "Emang Bang Ali menang kalau melawan Pak Harto (dengan Ali Sadikin).

Seingat saya, memang tak ada sumberpun yang menempeleng kami jika kami membuat pertanyaan kurangajar itu. Seingat saya, narasumber itu, paling “pol,” hanya berteriak "Tahi pedut!" (Ali Sadikin) atau “Kamu ini kok goblok banget jadi wartawan,” seperti diucapkan almarhum Soemitro sambil menggelengkan kepalanya keras-keras seperti sangat heran, kok ada wartawan segoblok kami yang berani-beraninya datang mewawancarainya. Jika kemudian kami menceritakan ini kepada Bang Yusril, biasanya ia hanya berkomentar, “he..he..he…”

Saya bertemu kembali dengan Bang Yusril saat Majalah Tempo membuat Koran Tempo akhir tahun 2000. Saat itu, dengan sejumlah teman, saya pindah dari FORUM Pria rapi ini sangat antusias membentuk Tempo News Room (TNR)- kantor berita Tempo. Rencananya, TNR inilah pusat dan akan menjadi penyuplai berita untuk Koran Tempo. Saat itu saya ditunjuk sebagai penanggungjawab pembentukan jaringan koresponden Koran Tempo di seluruh Indonesia.

Suatu ketika, datanglah seorang lelaki dari Purwakarta. Ia memperkenalkan diri sebagai Nanang. Ia datang bersama seorang pria, demikian Nanang memperkenalkan pria itu, adik Pak Yusril. Nanang ingin menjadi wartawan Tempo. Karena memang kosong dan ada pengalaman, saya menerimanya dan, seperti biasanya, ia harus lulus uji coba dulu selama sembilan bulan.

Setelah mereka pulang, saya ceritakan pertemuan itu dengan Bang Yusril. Ia meminta saya tetap memperhatikan calon wartawan itu. “Jangan mentang-mentang teman adik saya langsung diterima,” ujarnya.

Seperti Koran Tempo, TNR memiliki rapat perencanaan sendiri. Rapat itu dimulai pukul 8.30 pagi, setengah jam sebelum rapat Koran Tempo. Sekitar selama setahun, di awal-awal Koran Tempo, kami para redaktur TNR membuat perencanaan rapat dengan Bang Yusril. Ia memberi saran-saran berita apa yang harus dikembangkan dan dicari wartawan TNR. “Sehingga semua yang direncanakan koran, TNR sudah melakukannya,” ujarnya.

Setelah tak lagi di TNR saya jarang bertemu dengan beliau. Pertemuan saya terakhir dengan pria yang juga anggota perhimpunan pecinta alam Wanadri itu, Rabu pekan lalu, saat rapat opini Majalah Tempo. Ia hanya tersenyum ketika saya melirik telepon genggamnya yang ketika itu melantunkan lagu-lagu bernuansa islami. Dua hari kemudian ia masuk rumah sakit. Kini ia telah pergi. “Saya bersyukur bisa mengantarkannya pergi,” kata Goenawan Mohamad, terisak dan kemudian berhenti, tak mampu lagi melanjutkan pidatonya di depan jenazah sahabatnya itu. Selamat jalan Bang Yusril…