Selasa, 17 Maret 2009

Jangan Berhenti pada Abdul Hadi

Oleh LR. Baskoro


PENANGKAPAN Abdul Hadi Djamal tidak saja akan menambah daftar anggota Dewan yang masuk bui, tapi juga makin memperlihatkan, DPR memang lembaga korup dan sulit untuk dibenahi. Para legislator kita ini seperti bebal, tak jeri, dan tak kapok-kapok. Tertangkapnya Al Amin Nur Nasution, Bulyan Royan, atau Sarjan Taher lantaran menerima suap seperti tak memberi pelajaran sedikit pun bagi mereka. Penyakit korupsi dengan memanfaatkan kekuasaan sebagai anggota Dewan tampaknya sudah seperti candu. Nikmat dan sulit ditinggalkan.

Abdul Hadi ditangkap karena menerima suap Rp 1 miliar dari Hontjo Setiawan, pengusaha yang kerap mendapat proyek dari Direktorat Perhubungan Laut. Duit itu diduga sebagai bagian dari uang muka untuk menggolkan proyek pembangunan pelabuhan yang diincar Hontjo. Sebagai anggota Komisi Perhubungan merangkap Panitia Anggaran peran Abdul Hadi penting. Proyek itu tak akan gol jika Panitia Anggaran, yang anggotanya berasal dari berbagai komisi di DPR, menolak.

Karena itu jelas Abdul Hadi, seperti pengakuannya, tidak mungkin bermain sendiri dalam kasus ini. Pengakuan anggota legislator dari Partai Amanat Nasional ini bahwa ia telah menyerahkan duit Rp 1 miliar, antara lain, kepada anggota Partai Demokrat yang juga Wakil Ketua Panitia Anggaran, Jhonny Allen Marbun, harus juga jadi pintu masuk KPK membongkar kasus ini hingga tuntas. Kita tidak menerima jika kasus ini hanya berhenti pada Abdul Hadi, Hontjo, dan Darmawati, pegawai Departemen Perhubungan yang diduga perantara Abdul dan Hontjo. Jika ini terjadi, sulit tidak mengatakan, KPK memang selalu berpikir seribu kali jika sudah berhubungan dengan anggota Dewan.

Kasus Abdul Hadi juga semakin menunjukkan, Panitia Anggaran, lembaga yang memiliki hak budget itu, perlu pengawasan ketat. Sebagai salah satu alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, lembaga ini memang perlu. Panitia memiliki wewenang menyetujui atau tidak, proyek-proyek yang diajukan Departemen dan dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Ini memang mekanisme demokrasi bagus. Sebagai wakil rakyat, mereka memang harus mengontrol proyek-proyek yang menggunakan duit rakyat.

Persoalannya, jika kewenangan itu kemudian diselewengkan. Terjadi kolusi antara wakil rakyat, pemegang kekuasaan di departemen, dan pengusaha, untuk menggolkan proyek tertentu. Maka yang terjadi, kemudian, rentetan penyelewengan selanjutnya. Misalnya, pembengkakan anggaran atau penggolan proyek yang, bahkan, bisa jadi sebenarnya sangat tidak diperlukan masyarakat.

Dengan tertangkapnya Abdul Hadi, ada dua hal yang mesti dilakukan. Pertama, KPK harus segera memeriksa semua anggota DPR dan pejabat Departemen Perhubungan yang diduga terlibat kasus ini. KPK bahkan harus memeriksa kembali proyek-proyek Departemen Perhubungan yang selama ini “dipegang” Hontjo. Kelambanan KPK menelisik Departemen Perhubungan, bisa memberi kesempatan mereka yang terlibat kasus ini menghilangkan barang bukti.

Kedua, mesti ada kontrol kuat terhadap kerja Panitia Anggaran. Untuk ini tak ada cara lain selain harus dibuat peraturan yang menutup semua celah yang berpontensi membuat anggota Panitia Anggaran “bermain mata” dengan siapa pun. Misalnya, terlarang bagi anggota membahas proyek dan anggaran dengan pejabat atau pengusaha selain dalam rapat resmi yang terbuka. Mereka yang melanggar aturan ini, misalnya, mendapat sanksi dipecat dari anggota Dewan. Tanpa ada aturan dan saksi keras semacam itu, “Abdul Hadi, Abdul Hadi” lain akan tetap bermunculan ***