Senin, 06 Juli 2009

Tak Zamannya Lagi Isu Agama

MENGHALALKAN segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah cara berdemokrasi yang benar. Karena itu, kita menyesalkan terjadinya kampanye hitam yang menimpa calon wakil presiden Budiono. Perilaku semacam ini tidak saja jauh dari etika politik, tapi juga telah menciderai pesta demokrasi kita. Pemilihan presiden yang mestinya berjalan elegan telah dinodai dengan cara kasar dan ”kampungan.”

Kampanye hitam itu terjadi saat calon wakil Presiden Jusuf Kalla berdialog dengan masyarakat di Asrama Haji, Medan, dua pekan lalu. Di tengah-tengah kampanye dialogis tersebut, beredar selebaran berupa fotokopi artikel Tabloid Indonesia Monitor edisi 3-9 Juni berjudul ”Apakah PKS Tidak Tahu Istri Budiono Katolik?” Selebaran yang menuding Herawati, isteri Budiono seorang Katolik itu serta menjadi pembicaraan masyarakat yang menghadiri kampanye Kalla. Herawati sendiri sebenarnya seorang muslim.

Peristiwa di Asrama Haji itu langsung mendapat reaksi keras dari tim kampanye SBY-Budiono. Mereka menuding selebaran dan isu agama tersebut sengaja diedarkan dan diembuskan ”tim JK-Wiranto” untuk mendeskreditkan Budiono. Tujuannya: masyarakat, khususnya kaum muslimin, tidak memilih pasangan SBY-Budiono. Tidak hanya menuntut JK-Wiranto meminta maaf, tim kampanye SBY juga melaporkan kasus ini ke Badan Pengawas Pemilu dan polisi.

Sejauh ini siapa otak di belakang selebaran gelap itu masih belum jelas benar. Kepada polisi, seorang penyebarnya, yang kini menjadi tersangka, justru memberi pengakuan mengejutkan: yang menyuruh ia melakukan semua itu anggota tim sukses SBY. Jusuf Kalla sendiri menampik jika timnya melakukan kampanye seperti itu. Ia menyebut kampanye hitam di Medan tersebut sengaja untuk menjebak dirinya. Karena itu pula, wajar jika Jusuf Kalla berang dan meminta aparat memeriksa peristiwa di Medan itu.

Badan Pengawas Pemilu dan Polisi harus mengusut kasus ini sampai tuntas ini. Melihat ”matarantai” penyebarnya, rasanya tak terlalu sulit bagi polisi membekuk otak pelakunya. Apalagi nama-nama yang dicurigai berada di balik ini semua sudah di tangan polisi. Kita mengharap, dengan demikian, akan jadi terang benderang. Siapa sebenarnya yang ”bermain” atau melakukan fitnah dalam kasus ini. Siapa pun pelakunya harus mendapat hukuman setimpal.

Kita menyesalkan isu agama tetap saja dipakai untuk hal-hal demikian. Sebagai ”bangsa yang besar ” (bukankan demikian kita kerap mengklaim?) mestinya kita sudah menanggalkan pemikiran seperti itu: mempersoalkan keyakinan seseorang yang berbeda dengan kita. Kita sepakat, agama adalah masalah pribadi, masalah pilihan seseorang untuk berhubungan dengan yang ”di atas.” Jika pun isteri Budiono, misalnya, benar beragama katolik, apa yang salah?

Bangsa ini dibentuk di atas banyak perbedaaan: agama, suku, bahasa, golongan, dan lain sebagainya. Para pendiri bangsa, para founding fathers, memaklumi adanya kemajemukan yang luar biasa itu dan justru menyatukan perbedaan itu untuk menjadi kekuatan. Kita juga memiliki slogan bhinneka Tunggal Ika yang kita hafal luar kepala sejak kita duduk di bangku sekolah dasar. Karena itu, jika bangsa ini kini masih saja mempersoalkan perbedaan-perbedaan itu, niscaya bangsa ini tak akan maju-maju. (Baskoro)

Tidak ada komentar: