Senin, 19 Januari 2009

Duit Tommy di Paribas

Pengadilan banding Guernsey, Inggris, akhirnya memenangkan gugatan banding Tommy Soeharto atas pemerintah Indonesia. Hakim memerintahkan pembekuan duit pangeran Cendana senilai sekitar Rp 540 miliar itu diakhiri. Pemerintah menyiapkan sejumlah langkah baru untuk melakukan pertarungan kembali dengan Tommy.





PUTUSAN setebal 33 halaman yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Geoffrey Charles Vos itu mengakhiri pertarungan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dan Pemerintah Republik Indonesia di pengadilan banding di Guernsey, Inggris.

Jumat dua pekan lalu, didampingi dua hakim lainnya, Clare Patricia Montgomery dan Geoffrey Robert Rowland –yang juga Ketua Pengadilan Banding- Vos menyatakan Garnet Invesment Limeted berhak atas duit senilai 36 juta euro (sekitar Rp 540 miliar) yang kini mengendap di rekening Garnet di kantor cabang Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas. Hakim memerintahkan pembekuan rekening Garnet atas permintaan pemerintah Indonesia—yang merupakan keputusan pengadilan tingkat pertama- harus diakhiri.

Dalam sidang yang berlangsung sekitar 4,5 jam itu, Vos memaparkan pertimbangan hakim yang mengandaskan semua alasan Pemerintah Indonesia perlunya rekening itu dibekukan. Menurut hakim pemerintah Indonesia tidak pernah bisa membuktikan Tommy juga ayahnya, Soeharto, melakukan korupsi besar-besaran seperti yang dituduhkan di persidangan.

Vos menunjuk sejumlah perkara yang tidak bisa menunjukkan Tommy melakukan korupsi. Dalam perkara Goro-Bulog, misalnya, pengadilan mengalahkan pemerintah dan kasus ini diselesaikan secara damai. “Ini menunjukkan perkiraan pemerintah atas perkara lainnya terhadap Hutomo Mandalan Putra diragukan,” kata Vos.

Vos menilai pemerintah Indonesia tak melakukan penegakan hukum apapun atas tuduhan korupsi itu. Padahal, ujarnya, pemerintah punya waktu beberapa tahun sebelum Soeharto wafat. “Bahkan tujuh bulan setelah ayahnya wafat pun, tidak ada penegakan hukum apapun atas dugaan tindak pidana korupsi Tommy,” ujarnya.

Menurut Vos, Pemerintah Indonesia juga telah gagal membawa “kasus Soeharto” ke pengadilan lain di luar negeri untuk mencari atau membekukan kekayaan milik Soeharto dan Tommy. Kegagalan ini, ujar Vos, menjadi catatan penting bagi hakim lantaran rekening di Guernsey dinilai relatif kecil dibanding kekayaan Soeharto. Karena itu, ujar Vos, pengadilan menilai tuduhan korupsi besar-besaran yang dilakukan Tommy lebih bersifat politis ketimbang fakta hukum. “Tommy sampai menangis mendengar kabar gembira itu,” kata Otto Cornelis Kaligis, pengacara yang mewakili Tommy bertempur melawan Pemerintah RI di Guernsey.

GARNET adalah perusahaan yang seratus persen dimiliki Hutama Mandala Putra, putra bungsu Soeharto. Perusahaan berbadan hukum di British Virgin Islands -sebuah negara koloni Inggris di Kepulauan Karibia- ini bertugas mengelola sebagian harta Tommy Soeharto. Atas nama “pangeran Cendana” itu, pada 1998, Garnet menyimpan dananya di BNP Paribas, Guernsey, sebuah pulau seluas sekitar 194 kilometer persegi yang terletak di Selat Channel, selat yang memisahkan Inggris dan Prancis.

Perkara banding Garnet berawal dari pembekuan rekening yang dilakukan BNP Paribas pada 2002. Sikap keras bank asal Prancis ini didukung hasil investigasi Financial Intelligence Services, lembaga pelacakan keuangan di Inggris, yang menyatakan tiga rekening milik Tommy “terkait dengan Soeharto” yang diduga melakukan korupsi selama menjadi presiden. Lantaran tak bisa mencairkan duitnya itu, Garnet lantas menggugat Paribas ke pengadilan.

Di sini pemerintah Indonesia “masuk.” Dalam gugatan intervensinya, pemerintah menyatakan uang Tommy itu hasil korupsi. Pengadilan Guernsey menerima gugatan itu dan memerintahkan pemerintah Indonesia membuktikannya. Amunisi pun disiapkan. Ada lima kasus yang diperkirakan dapat memenangkan pemerintah: Bulog, BPPC, Yayasan Supersemar, Petra Oil, dan PT Timor Putra Nasional/PT Vista Bella.

Dua tahun kemudian pada 28 Agustus 2008, pengadilan Guernsey memutuskan memperpanjang pembekuan duit Tommy hingga 23 Mei 2009. Terhadap putusan ini Garnet segera mengajukan banding. Hasilnya, ya itu tadi. Pengadilan meluluskan banding Garnet.

Di Tanah air, kabar buruk untuk pemerintah itu langsung disampaikan Simon, H. Davies, pengacara yang mewakili pemerintah kepada Yoseph Suardi Sabda, jaksa pengacara negara. “Kami sudah memprediksi, putusannya akan seperti ini,” kata Yoseph kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Menurut Yoseph hakim pengadilan banding Guernsey telah salah menerapkan hukum. Seharusnya, ujar Yoseph, yang dipertimbangkan hakim adalah permohonan pembekuan aset yang diajukan pemerintah berdasar hukum atau tidak.
Selain itu, hakim juga seharusnya mempertimbangkan apakah putusan pengadilan tingkat pertama yang mengabulkan permohonan pemerintah berdasar hukum atau tidak. “Hakim salah, karena yang dipertimbangkan justru soal tepat tidaknya tindakan pemerintah Indonesia menyelesaikan dugaan korupsi Soeharto dan Tommy,” kata Yoseph. “Hakim tidak berhak menilai keputusan pengadilan kita.”

Kendati memenangkan gugatan itu, ujar Yoseph, tidak serta merta Tommy bisa mencairkan uangnya. Putusan banding itu, kata dia, hanya menjawab gugatan intervensi yang dilakukan pemerintah Indonesia. “Putusan itu belum menjawab gugatan pokok perkara Garnet yakni pembekuan rekening yang dilakukan oleh BNP Paribas.”

Kalah di tingkat banding, Kejaksaan kini menyiapkan “senjata” baru untuk kembali “diluncurkan” di Guernse. “Masih ada tiga cara untuk melawan putusan pengadilan banding itu,” kata Jaksa Agung Hendarman Supandji. Ketiga cara itu: mengajukan permohonan peninjauan ulang (motion for reconsideration) ke pengadilan banding Guernsey, mengajukan banding kepada Mahkamah Agung Inggris, dan terakhir mengajukan permohonan baru pembekuan (fresh application for freezing order) kepada pengadilan Guernsey. “Dari ketiga cara itu saya cenderung kepada pilihan terakhir,” kata Yoseph.

Pilihan terakhir itu sendiri akan tergantung pada putusan Pengadilan atas perkara pemerintah melawan PT Vista Bella yang, jika tidak ada aral melintang, bakal dibacakan Senin pekan ini.

Menurut Yoseph, jika pemerintah menang, berarti terbukti ada afiliasi Vista dengan Timor yang merugikan negara. Faktanya, ujar Yoseph, Vista Bella memang hanya membayar Rp 512 miliar untuk membeli hak tagih utang Timor sebesar Rp 4,6 triliun. Menurut Yoseph membuktikan ada tidaknya afiliasi itu sendiri mudah. “Vista Bella kan terbukti tidak pernah menagih ke Timor.”

Jika pekan ini pengadilan memenangkan pemerintah, maka “modal putusan hakim” itulah yang segara dibawa ke Guernsey. Bagaimana jika kalah? “Pilihannya hanya meminta peninjauan ulang atau mengajukan banding ke Mahkamah Agung Inggris.”

Untuk bisa diajukan ke Mahkamah, Joseph menyebut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pemberantasan Korupsi (UNCAC) bisa dijadikan dasar gugatan banding. Menurut Yoseph, gugatan ke Mahkamah bisa dilakukan karena ada petunjuk duit yang disimpan di bank Paribas hasil pengayaan diri secara tidak sah (illicit enrichment). “Pakai logika saja, bagaimana mungkin seseorang yang baru 33 tahun memiliki uang Rp 500 miliar,” katanya. “Kalau usaha legal, tentu sulit mengumpulkan uang sebanyak itu dalam usia semuda.” ujarnya.

O.C. Kaligis sendiri tak gentar menghadapi calon amunisi terbaru Kejaksaan ini. Menurut dia, putusan tiga hakim pengadilan Guernsey sudah final dan berkekuatan hukum tetap. Langkah kejaksaan untuk melawan Tommy kembali di pengadilan Inggris itu, menurut dia, juga tak mudah. “Langkah kejaksaan sudah tertutup,” ujarnya. ***

Anne L Handayani, Rini Kustiani (Dimuat di Majalah Tempo, 19 Januari 2009)

Rabu, 14 Januari 2009

Muchdi Bebas

PENGADILAN Negeri Jakarta Selatan membebaskan Muchdi Purwoprandjono dari dakwaan sebagai penganjur pembunuhan Munir. Sejumlah kejanggalan muncul sepanjang kasus ini.

***


SUCIWATI tertunduk lesu. Air matanya menetes. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu, pengujung tahun pekan lalu itu benar-benar menohok dirinya. Namun, ibu dua anak itu berupaya tetap tegar. Dengan cepat ia menyeka air matanya. “Meski saya sudah menduga keputusannya seperti ini, saya tetap shok, marah, dan sakit hati,” ujar perempuan, 37 tahun ini kepada Tempo.

Beberapa jam sebelumnya majelis hakim yang diketuai Suharto dan beranggotakan Achmad Yusak dan Haswandi membebaskan Muchdi Purwoprandjono dari seluruh dakwaan keterlibatan dalam pembunuhan suaminya, Munir Said Thalib. Sebelumnya jaksa menuntut Muchdi hukuman 15 tahun penjara.

Menurut hakim, dakwaan jaksa bahwa Muchdi yang saat itu menjadi Deputi V bidang Badan Intelijen Nasional (BIN), menganjurkan atau menyuruh Pollycarpus Budihari Priyanto membunuh Munir, tidak terbukti. Hakim memang merontokkan semua dakwaan yang ditembakkan jaksa terhadap Muchdi dalam kaitan tewasnya Munir.

Empat tahun silam, 7 September 2004, aktivis pembela hak asasi manusia itu tewas dalam pesawat Garuda GA 974 yang sedang membawanya ke Amsterdam. Tubuh pria 39 tahun ini kaku di atas langit Rumania, tujuh jam setelah pesawat meninggalkan bandara Changi, Singapura.

Belakangan, terungkap pelaku pembunuhan itu Pollycarpus Budihari Priyanto pilot garuda yang juga “merangkap” agen BIN. Polly sendiri, setelah dituntut penjara seumur hidup, pada 25 Januari 2008 divonis Mahkamah Agung 20 tahun penjara. Menurut majelis hakim, Polly meracun Munir saat pesawat transit di Singapura. Caranya: dengan memasukan racun arsenik ke dalam minuman kopi saat keduanya kongkow di Coffee Bean, bandara Changi, kota Singa itu.

Tim penyidik kasus Munir terus bergerak. Belakangan setelah memeriksa belasan saksi yang terlibat kasus ini, termasuk di antaranya sejumah agen BIN, polisi menahan Muchdi. Deputi bidang penggalangan ini diduga sebagai pihak yang berperan penting dalam operasi pelenyapan Munir.

Menurut ketua tim jaksa, Cirus Sinaga, motif utama yang membuat Muchdi ingin melenyapkan Munir adalah dendam dan sakit hati. Gara-gara Munirlah, menurut jaksa, Muchdi dicopot dari jabatannya sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Saat itu, ujar Cirus, Munir mempersoalkan peran Kopassus dalam kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa. Menurut Suciwati, suaminya pernah mengatakan, Muchdilah orang yang paling sakit hati lantaran terungkapnya kasus penculikan oleh Tim Mawar Kopassus.

Tapi motif sakit hati ini diruntuhkan hakim. Menurut majelis hakim, ucapan Munir itu hanya menggambarkan kekhawatiran saja. Kesaksian Suciwati yang mengaku pernah diteror dengan cara mendapat kiriman ayam mati dinilai hakim tidak merujuk siapapun. “Saksi (Suciwati) tidak tahu siapa pengirimnya,” kata Haswandi, salah satu anggota majelis hakim.

Tidak hanya soal motif, surat rekomendasi agar Pollycarpus dijadikan aviation security, juga dinilai hakim tak ada sangkut pautnya dengan Muchdi.

Surat ini sebenarnya mata rantai penting menuju “penghilangan” Munir. Ini bukan surat asli. Inilah dokumen yang “dikeluarkan” tim penyidik Mabes Polri dari komputer BIN. Surat aslinya ditandatangani Wakil BIN, M. As’ad . Isinya, memerintahkan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, menjadikan Polly sebagai aviation security. Dalam kesaksiannya, Indra menyatakan ia pernah ke kantor BIN untuk menanyakan perihal surat itu. Di sana, ia bertemu dengan Muchdi dan As’ad.

Kendati menyatakan “surat kloning” itu sah sebagai alat bukti, hakim menyatakan surat tak bisa menunjukkan keterlibatan Muchdi dalam kaus tewasnya Munir. “Dalam surat itu, tidak ada yang mengarah kepada terdakwa (Muchdi),” kata Haswandi. “Rekomendasi Pollycarpus masuk dalam Unit Keamanan Korporasi itu bukan tindakan pidana atau permufakatan jahat yang diatur dalam undang-undang,” katanya lagi.

Hakim juga menyingkirkan fakta adanya catatan hubungan telepon (call data record) antara Pollycarpus dengan Muchdi. Sebelumnya tim penyidik menemukan sedikitnya terjadi 41 kali hubungan telepon antara Polly dan Muchdi. Bahkan saat Munir tewas, terungkap ada 16 kali hubunganb telepon antara Polly dan Muchdi.

Di persidangan Muchdi berkali-kali menepis pernah menelepon atau ditelepon Polly. Soal ini rupanya hakim sepakat. Menurut hakim, tidak ada yang menunjukkan telepon itu dipakai sendiri oleh Pollycarpus dan Muchdi. “Isi pembicarannya juga tidak diketahui,” ujar Haswandi.

Soal kesaksian Budi Santoso, mantan Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi BIN, yang disodorkan jaksa juga ditampik hakim. Kepada polisi, Budi sebelumnya mengaku pernah memberi uang Rp 10 juta kepada Polly atas perintah Muchdi. Ia juga pernah mendengar beberapa kali Polly menyatakan akan “menghabisi” Munir. Kepada polisi ia juga menyatakan kerap menjadi penghubungan antara Polly dan Muchdi.

Nah, menurut hakim bukti ini juga tak kuat untuk menyatakan Muchdi berada di balik tewasnya Muchdi. Menurut hakim, bukti yang ada sekadar catatan pengeluaran keuangan dalam buku kas yang dibuat Budi. “Tak ada satupun yang mendukung keterangan saksi itu, ” ujar Haswandi.

Dengan tidak adanya satu pun bukti keterlibatan Muchdi dalam kasus tewasnya Munir inilah, maka majelis hakim menyatakan Muchdi tidak terlibat apa pun dalam tewasnya Munir.

Putusan hakim Rabu pekan lalu, disambut gegap gempita ratusan pendukung Muchdi. Selain berteriak-teriak “hidup Muchdi,” puluhan pendukung Muchdi -yang sejak pagi sudah “menguasai ruang sidang- menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sementara, ratusan pendukung Munir yang kecewa dengan putusan hakim, dengan lantang berteriak, “Pembunuh….pembunuh….”

Muchdi sendiri tersenyum lebar menyambut “hadiah” yang diterimanya menjelang tutup tahun 2008 lalu itu. “Saya yakin bebas,” katanya. “Tidak ada bukti dan saksi yang memberatkan saya.”


SEJUMLAH saksi yang sebelumnya diperkirakan akan membuat Muchdi tersudut dan tak berkutik memang sudah rontok di tengah jalan. Semuanya menyatakan mencabut pengakuan mereka seperti yang tertera dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Staf Tata Usaha Deputi V BIN, Zondy Anwar dan Aripin Rachman, misalnya. Saat diperiksa polisi keduanya mengaku pernah melihat Pollycarpus di ruangan Muchdi. Belakangan di persidangan keduanya mencabut keterangannya itu. Demikian pula bekas Kepala Seksi Administrasi BIN, Kawan. Kepada polisi, Kawan bercerita, ia pernah melihat Polly di ruangan Budi Santoso, Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi BIN. Tapi, lagi-lagi, di persidangan Kawan berkelit dan mencabut keterangannya.

Keterangan paling dahsyat adalah yang diberikan Budi Santoso. Dua kali Budi diperiksa penyidik, yakni, 3 dan 8 Oktober 2007. Kepada penyidik, Budi mengaku ia pernah melihat Polly di ruangan Muchdi. Ia juga pernah menyerahkan uang Rp 10 juta, Rp 3 juta, dan Rp 2 juta kepada Polly atas perintah Muchdi. Saat kematian Munir ia mengaku ditelepon Polly yang menanyakan keberadaan Muchdi.

Budi sendiri tak bisa dihadirkan di ruang sidang. Agen BIN ini tengah bertugas di Afghanistan. Yang mengejutkan belakangan, pengacara Muchdi menyatakan mendapat surat dari Budi. Dalam surat berlogo burung garuda itu, Budi menyatakan mencabut pengakuannya dalam BAP polisi.

Ramai-ramainya para saksi itu menarik kembali pengakuannya tentulah menguntungkan Muchdi. Menurut Suciwati, pencabutan itu jelas ini merupakan perintah dari “atas.” “Padahal, dalam setiap pemeriksaan, para saksi itu didampingi penasihat hukum dari BIN,” ujar Suci. “Kalau satu dua yang menarik, mungkin logis, tapi ini kan semuanya.”

Menurut Koordinator Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), Usman Hamid, meskipun para saksi mencabut kesaksiannya, bukan berarti kebenaran peristiwa dan keterlibatan Muchdi itu otomatis tidak ada. Menurut dia, inilah yang seharusnya dikejar hakim. “Tapi, hakim tidak mengejar kebenaran materil, hanya mengejar formil.”

Ditemui Tempo sesusai sidang, Ketua majelis hakim, Suharto, menolak berkomentar terhadap putusan terhadap Muchdi itu. Menurut dia, mereka yang tak puas atas putusannya, bisa mengajukan upaya hukum lain. “Bisa saja nanti putusan ini dibatalkan atau dikuatkan di peradilan yang lebih tinggi,” ujarnya.

Jaksa memang akan mengajukan kasasi terhadap putusan yang membuat Muchdi melenggang keluar dari tahanannya di markas Brimob, Depok itu. Tidak hanya jaksa, pengacara Pollycarpus, Mochammad Assegaf menyatakan akan memakai putusan bebasnya Muchdi sebagai dasar memperkarakan kembali status kliennya. “Kalau di tidak terbukti Muchdi menyuruh Pollycarpus membunuh Munir, lalu kenapa Pollycarpus dihukum?” katanya.

Di mata ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo, jika hakim menyatakan seluruh dakwaan Muchdi tidak terbukti, maka itu berarti Muchdi bebas murni. Konsekuensi hukumnya, kata dia, jaksa dalam hal ini bukan melakukan kasasi, melainkan mengajukan upaya hukum PK, peninjauan kembali. “Syaratnya harus ada bukti baru,” ujarnya.

Dari Markas Besar Polri, juru bicara kepolisian, Inspektur Jenderal Abu Bakar Nataprawira menegaskan, polisi sudah bekerja maksimal mengusut kasus ini. “Unsur-unsur Muchdi terlibat pembunuhan Munir pun sudah dipenuhi,” ujarnya. “Kalau tidak diterima hakim, itu risiko.”

Pekan-pekan ini Presiden SBY juga akan mempertanyakan bebasnya Muchdi ini kepada Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. “Instruksi Presiden kepada kepolisian dan Kejaksaan Agung jelas, yakni tuntaskan kasus pembunuhan Munir. Siapa pun pelakunya harus diadili, ” kata Andi Mallarangeng, juru bicara Presiden.

Dengan bebasnya Muchdi ini praktis dalam pembunuhan Munir, hanya dua orang yang dinyatakan terlibat: Pollycarpus dan Indra Setiawan. Jika Polly kini meringkuk di penjara Sukamiskin, Bandung, maka Indra, yang diganjar hukuman setahun karena bersalah mengeluarkan surat tugas untuk Polly, sejak April 2008 sudah menghirup udara bebas.

Bebasnya Muchdi, pada akhirnya memang meninggakan pertanyaan: apakah Polly memang dikorbankan dalam kasus ini? Usman Hamid tidak yakin Polly bekerja sendirian. “Tidak mungkin Pollycarpus otak dari semua ini.” Menurut Usman, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), akan mengawal langkah kasasi yang ditempuh kejaksaan. “Aparat hukum wajib menuntaskan kasus ini seadil-adilnya,” kata sahabat Munir itu.

Ditemui Rabu pekan lalu di rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang, Yosepha Hera Iswandari, istri Pollycarpus menegaskan ia tetap tak percaya suaminya membunuh Munir. “Naif sekali kalau pollycarpus mau diupah Rp 10 juta, tambah Rp 3 juta, dan tambah beberapa juta lagi untuk membunuh Munir,” ujarnya.

Menurut Hera, pertemuan Munir dan suaminya di Coffee Bean itu hanya rekaan saja. “Saksi Ongen Latuihamallo juga menarik kesaksian adanya pertemuan di tempat itu,” ujar perempuan yang kini membiayai kehidupan keluarganya dengan berjualan telur asin.

Seandainya pun Pollycarpus membunuh Munir, ujar Hera, sangat tidak masuk akal jika itu dilakukan atas inisiatifnya sendiri. “Tidak ada latar belakang Pollycarpus yang menjadikan alasan ia harus membunuh Munir,” ujar ibu tiga anak ini. ***

Anne L Handayani, Rini Kustiani, Munawwaroh, Cornila, dan Eko Ari Wibowo