Senin, 27 Juli 2009

Tebak-Tebakan Dianggap Judi

SUNGGUH keterlaluan memang yang dilakukan aparat Kepolisian Bandara Soekarno Hatta ini. Dengan alasan melakukan praktek perjudian, mereka menangkap sepuluh bocah penyemir sepatu yang biasa mencari nafkah di bandara internasional itu. Selain sempat dijebloskan ke tahanan selama sekitar sebulan, para bocah yang rata-rata berusia delapan hingga empat belas tahun itu kini dihadapkan ke pengadilan.

Jika kemudian banyak yang memprotes tindakan polisi yang seperti kurang kerjaan tersebut, itu wajar saja. Para bocah itu bukanlah penjudi. Mereka hanyalah sekumpulan anak yang mungkin tengah menghibur diri dengan bermain tebak-tebakan gambar koin setelah lelah mencari nafkah di bandara. Anak-anak itu, yang tengah liburan sekolah, terpaksa menjadi penyemir karena harus membantu orang tua mereka miskin. Dengan pekerjaan itu pula mereka mendapat uang untuk biayai sekolah.

Polisi mengenakan pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menjerat kesepuluh bocah tersebut. Pasal yang melarang perjudian itulah yang dijadikan dasar jaksa menuntut para bocah di Pengadilan Negeri Tangerang. Jika hakim memutuskan para bocah tersebut terbukti melakukan perjudian, mereka bisa terancam hukuman hingga lima tahun penjara. Para anak-anak itu bakal kehilangan bangku sekolah dan dipisahkan dari orangtua mereka.

Kita berharap hakim tidak gegabah memutus perkara ini. Seringan apa pun hukuman yang dijatuhkan, akan berdampak bagi anak-anak tersebut. Mereka akan mendapat cap ”narapidana,” ”penjahat,” ”penjudi,” atau sebutan lain berkonotasi negatif yang bisa jadi akan mempengaruhi jiwa mereka. Kita tak ingin ini terjadi pada para bocah tersebut. Karena itu, kita berharap hakim menolak semua dakwaan jaksa dan membebaskan mereka.

Para bocah itu mesti dibebaskan bukan saja karena dakwaan jaksa lemah, tapi proses penangkapan mereka pun patut dipertanyakan. Pertama, perihal tuduhan berjudi. Yang dimainkan para bocah itu, yang mereka sebut macan brang, bukan judi seperti ditentukan pasal 303 KUHP. Ini murni permainan anak-anak yang lazim ditemui di kampung-kampung sekitar bandara. Unsur perjudian seperti diatur pasal 303, yakni sebagai matapencarian dan untuk memperkaya diri, jelas berlebihan diterapkan untuk judi ”kelas macan brang” ini.

Kedua proses penangkapan dan pemeriksaan terhadap mereka. Jika aparat Kepolisian Soekarno Hatta paham hukum, seharusnya mereka mengetahui prosedur menangani anak-anak yang dituduh melakukan tindak pidana. Undang-Undang Pengadilan Anak memerintahkan, tindakan pertama penegak hukum menghadapi hal semacam ini adalah mengembalikannya kepada orangtua agar mendapat pembinaan. Bukan serta merta menahan dan bersemangat mengirimkannya ke pengadilan. Dalam hal ini aparat Kepolisian Bandara telah melakukan kesalahan mendasar.

Kita juga menyesalkan sikap kejaksaan yang dengan gampangnya menerima kasus ”remeh temeh” ini. Mestinya, kejaksaan menolak perkara ini, menyatakan tak layak untuk diproses dan meminta polisi lebih baik mencari dan menangkap para penjudi kakap yang jelas-jelas memenuhi unsur Pasal 303.

Kini, yang kita harap, hakim memakai semangat melindungi anak dalam menangani perkara ini. Mereka harus dibebaskan, dihindarkan dari stigma sebagai narapidana, agar bisa menjalani kehidupan normal kembali.(LR.Baskoro) ***

Kamis, 16 Juli 2009

Tai Chi di Jakarta

Sejumlah teman bertanya, di mana mereka bisa ikut latihan Tai Chi di Jakarta. Lewat milis ini semoga bisa membantu. Tai Chi yang saya ikuti adalah Tai Chi ji kung Pro Patria. Memadukan pernafasan dan gerak badan. Di Jakarta latihannya di Depok Town Centre di dekat perumahan Maharaja. Dari stasiun Depok Baru naik angkutan kota 03 dan pas turun di depannya. Latihannya setiap hari Selasa dan Santu malam dari pukul 19.00- 21.00.

Ada pun di Bogor latihannya setiap Hari Minggu pukul 14.00-16.00 dan Rabu malam pukul 19.00-21.00.

Di dua tempat ini pelatihnya sama: Pak Noviar. Jika ingin lebih tahu tentang Tai Chi ini silakan hubungi beliau. Nomor teleponnya: (0813 1780 7842) dan 021 44686921 (flexi)

Senin, 06 Juli 2009

Tai Chi

Akhirnya saya latihan Tai Chi. Sungguh hal yang tak terbayangkan saya bertemu kembali dengan guru Kung Fu saya sekitar 17 tahun lalu, saat saya masih kuliah di UGM, Mas Noviar.

Dulu saat mahasiswa saya memang ikut kungfu Pro Patria. Salah satu hal yang saya senangi dari kung fu Pro Patria ini adalah jurus-jurus harimau dan latihan pernafasannyal. Saya yakin, pernafasan memang inti kekuatan.

Saya tidak sengaja menemukan Tai Chi Pro Patria ini. Saya melihat pengumumannya di gedung olahraga Padjadjaran, Bogor. Saya datang dan mendaftar, dan ternyata bertemu lagi dengan Mas Noviar. Kami latihan tiap hari Minggu pagi dan Rabu malam.

Saat di Yogya saya memang belum pernah mendengar Tai Chi Pro Patria ini. Setelah latihan, saya teringat, beberapa gerakannya memang persis dengan gerakan kung fu. Yang jelas, latihan ini memang akan membuat badan bugar, sehat dan nafas tidak lagi ngos-ngosan. Latihan seminggu dua kali, saya kira cukup.

Berikut manfaat latihan Tai Chi yang saya peroleh:
1. Meningkatkan aliran darah ke jantung, menguatkan otot-otot jantung, dan membuat denyut jantung menjadi lebih lambat dan efisien. Peningkatan aliran darah ini memperbaiki kesehatan umum dari seluruh organ tubuh.
2. Meningkatkan kelenturan organ paru-paru dan meningkatkan efisiensi fungsi paru-paru, sehingga akan dapat menarik lebih banyak oksigen yang dihirup.
3. Meningkatkan kekuatan tulang-tulang, persendian, dan meningkatkan kelenturannya, sehingga dapat mengurangi osteoporosis (pengeroposan tulang).
4. Pemusatan perhatian yang dalam pada gerak dan pernapasan akan merangsang otak, meningkatkan konsentrasi dan ketenangan.
5. Mempercepat penyembuhan berbagai penyakit (sakit kepala, migrain, dan vertigo; reumatik, sakit pinggang; gangguan fungsi ginjal, diabetes; asma dan sesak napas; lemah syahwat dan ejakulasi dini; sakit keputihan dan gangguan haid; lemah jantung; sakit lever; gangguan pencernaan dan sembelit; tekanan darah tinggi dan tekanan darah rendah; dan lain-lain, selain penyakit karena virus, bakteri dan jamur).
6. Fungsi beladiri, menangkal serangan yang "tampak" maupun yang "tidak tampak".

Tak Zamannya Lagi Isu Agama

MENGHALALKAN segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah cara berdemokrasi yang benar. Karena itu, kita menyesalkan terjadinya kampanye hitam yang menimpa calon wakil presiden Budiono. Perilaku semacam ini tidak saja jauh dari etika politik, tapi juga telah menciderai pesta demokrasi kita. Pemilihan presiden yang mestinya berjalan elegan telah dinodai dengan cara kasar dan ”kampungan.”

Kampanye hitam itu terjadi saat calon wakil Presiden Jusuf Kalla berdialog dengan masyarakat di Asrama Haji, Medan, dua pekan lalu. Di tengah-tengah kampanye dialogis tersebut, beredar selebaran berupa fotokopi artikel Tabloid Indonesia Monitor edisi 3-9 Juni berjudul ”Apakah PKS Tidak Tahu Istri Budiono Katolik?” Selebaran yang menuding Herawati, isteri Budiono seorang Katolik itu serta menjadi pembicaraan masyarakat yang menghadiri kampanye Kalla. Herawati sendiri sebenarnya seorang muslim.

Peristiwa di Asrama Haji itu langsung mendapat reaksi keras dari tim kampanye SBY-Budiono. Mereka menuding selebaran dan isu agama tersebut sengaja diedarkan dan diembuskan ”tim JK-Wiranto” untuk mendeskreditkan Budiono. Tujuannya: masyarakat, khususnya kaum muslimin, tidak memilih pasangan SBY-Budiono. Tidak hanya menuntut JK-Wiranto meminta maaf, tim kampanye SBY juga melaporkan kasus ini ke Badan Pengawas Pemilu dan polisi.

Sejauh ini siapa otak di belakang selebaran gelap itu masih belum jelas benar. Kepada polisi, seorang penyebarnya, yang kini menjadi tersangka, justru memberi pengakuan mengejutkan: yang menyuruh ia melakukan semua itu anggota tim sukses SBY. Jusuf Kalla sendiri menampik jika timnya melakukan kampanye seperti itu. Ia menyebut kampanye hitam di Medan tersebut sengaja untuk menjebak dirinya. Karena itu pula, wajar jika Jusuf Kalla berang dan meminta aparat memeriksa peristiwa di Medan itu.

Badan Pengawas Pemilu dan Polisi harus mengusut kasus ini sampai tuntas ini. Melihat ”matarantai” penyebarnya, rasanya tak terlalu sulit bagi polisi membekuk otak pelakunya. Apalagi nama-nama yang dicurigai berada di balik ini semua sudah di tangan polisi. Kita mengharap, dengan demikian, akan jadi terang benderang. Siapa sebenarnya yang ”bermain” atau melakukan fitnah dalam kasus ini. Siapa pun pelakunya harus mendapat hukuman setimpal.

Kita menyesalkan isu agama tetap saja dipakai untuk hal-hal demikian. Sebagai ”bangsa yang besar ” (bukankan demikian kita kerap mengklaim?) mestinya kita sudah menanggalkan pemikiran seperti itu: mempersoalkan keyakinan seseorang yang berbeda dengan kita. Kita sepakat, agama adalah masalah pribadi, masalah pilihan seseorang untuk berhubungan dengan yang ”di atas.” Jika pun isteri Budiono, misalnya, benar beragama katolik, apa yang salah?

Bangsa ini dibentuk di atas banyak perbedaaan: agama, suku, bahasa, golongan, dan lain sebagainya. Para pendiri bangsa, para founding fathers, memaklumi adanya kemajemukan yang luar biasa itu dan justru menyatukan perbedaan itu untuk menjadi kekuatan. Kita juga memiliki slogan bhinneka Tunggal Ika yang kita hafal luar kepala sejak kita duduk di bangku sekolah dasar. Karena itu, jika bangsa ini kini masih saja mempersoalkan perbedaan-perbedaan itu, niscaya bangsa ini tak akan maju-maju. (Baskoro)