Selasa, 22 Mei 2007

Mencari Keadilan di Meruya

KEPUTUSAN Pengadilan Negeri Jakarta Barat menunda eksekusi terhadap tanah Meruya Selatan sudah tepat. Entah apa jadinya jika eksekusi yang direncanakan pada 21 Mei ini jadi dilakukan. Perlawanan lebih dari 15.000 warga, yang bertekad akan mati-matian mempertahankan rumah dan tanah mereka, bisa berbuah bentrokan mengerikan.

Kasus tanah Meruya menggambarkan betapa buruk dan sembrononya kerja aparat pemerintah kita, terutama Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam sistem pendataan dan sertifikasi tanah. Jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang disengketakan. Tapi, nasi telah menjadi bubur. BPN mengeluarkan sertifikat itu dan kini jadi masalah.

Jika mengacu putusan Mahkamah Agung, Portanigra memang berhak atas lahan sekitar 78 hektare di Kelurahan Meruya Selatan, Jakarta Barat. Sebelumnya, pada 1996 Portanigra mengajukan gugatan atas status lahan itu ke pengadilan. Menurut Portanigra, pihaknya berhak atas lahan puluhan hektare bersurat girik tersebut karena telah membelinya secara sah. Perusahaan itu menggugat ke pengadilan karena lahan yang dibeli itu ternyata dijual lagi oleh para makelar tanah ke pihak lain.

Di pengadilan pertama dan banding gugatan Portanigra kandas. Pengadilan menyatakan seharusnya warga yang mendiami lahan itu ikut digugat. Tapi, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memenangkan Portanigra. Putusan Mahkamah pada 2001 itu yang kemudian menjadi dasar Pengadilan Jakarta Barat mengeksekusi lahan Meruya Selatan yang kini sudah dipenuhi kompleks perumahan dan perkantoran.

Jika warga marah terhadap putusan itu wajar saja. Siapa pun tentu marah jika hasil keringatnya bertahun-tahun dirampas dengan tidak adil. Sebagian besar warga yang berdomisili di sana juga bukan golongan menengah atas. Mereka pegawai swasta rendahan atau pegawai negeri golongan menengah ke bawah yang mungkin harus menabung bertahun-tahun untuk memiliki rumah di situ. Tak terbayangkan nasib mereka jika harus disuruh angkat kaki dari tempat itu.

Namun, kita juga tak bisa menyampingkan hak Portanigra. Portanigra telah menempuh jalur hukum bertahun-tahun untuk mendapat haknya. Dan jika Mahkamah memenangkan gugatannya, siapa pun wajib menghormati putusan benteng terakhir peradilan ini. Sebaliknya, mereka yang tak puas juga harus menempuh jalur hukum untuk melawan putusan Mahkamah.

Karena itu, kita mendukung langkah warga Meruya yang melakukan perlawanan dengan melakukan gugatan terhadap putusan Mahkamah. Kita mengharap pengadilan tidak melakukan eksekusi sepanjang belum ada putusan tetap atas gugatan perlawanan warga. Kita mengharap putusan pengadilan kelak tetap mempertimbangkan kepentingan warga yang membeli tanah itu dengan itikad baik. Kita tidak ingin kasus ini menjadi berkepanjangan dan kemudian meruyak ke mana-mana.

Sementara itu, instansi berwenang harus turun tangan mengusut penerbitan sertifikat hak milik para warga. Perlu diteliti apakah BPN telah melakukan prosedur semestinya dalam penerbitan sertifikat itu atau ada aparat yang “bermain” dan menyalahgunakan wewenangnya untuk mengambil untung dari kasus ini. Siapa pun yang terbukti melakukan pelanggaran dalam penerbitan sertifikat itu, harus dihukum berat. ***