Rabu, 26 Agustus 2009

Pengadilan Antasari Azhar

TINGGAL selangkah lagi Antasari Azhar berhadapan dengan pengadilan. Setelah lebih dari seratus hari mendekam di tahanan, inilah pekan terakhir kepolisian harus menyelesaikan berkas penyidikan perkara pembunuhan berencana dengan tersangka Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif tersebut. Merunut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, batas waktu penyidikan adalah 120 hari. Maka, pekan ini, Kejaksaan juga mesti segera menetapkan berkas tersebut sudah P-21 alias lengkap untuk segera dilimpahkan ke pengadilan.

Masyarakat kini tengah menunggu akhir lakon Antasari. Menunggu pengadilan membuka seterang-terangnya motif pembunuhan ini. Menunggu para hakim menjatuhkan hukuman seadil-adilnya kepada mereka yang terlibat. Kita tidak ingin otak pelakunya lolos atau hanya dihukum ringan, sementara, mereka yang diperdaya melakukan pembunuhan dengan alasan tugas negara dihukum berat. Kita ingin intellectuele dader pembantaian terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen ini dihukum setimpal kesalahannya.

Antasari, sebagai jaksa yang berpengalaman lebih dari 25 tahun, tentu telah menyusun strategi menghadapi kasus yang menjeratnya. Sebagai bekas Direktur Penuntutan Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung, jelas ia sangat memahami bagaimana ”menyusun” jawaban atas pertanyaan penyidik, agar tidak menikam dirinya. Pengembalian beberapa kali berkas penyidikan oleh kejaksaan kepada kepolisian menujukkan itu: polisi harus ekstra keras menambal lubang-lubang penyidikan, agar Antasari tak lolos dalam perkara ini.

Testimoni empat lembar yang dibuatnya di tahanan, yang menyebut koleganya di Komisi Antikorupsi menerima uang Rp 6 miliar dari seseorang yang tengah berperkara, juga menunjukkan Antasari menggunakan segala cara ”menyelamatkan” dirinya. Jika testimoni yang disanggah kebenarannya oleh para pimpinan Komisi merupakan upaya ”barter” informasi antara Antasari dengan kepolisian seperti ramai diberitakan dengan tujuan ia terbebas dari perkara pembunuhan, maka itu sangat disesalkan. Kita makin paham, demikianlah memang ”kelas” Antasari, sosok yang sejak awal pencalonannya sebagai pimpinan KPK, majalah ini sudah meragukan integritasnya.

Polisi kini lebih baik fokus menambal dan melengkapi bukti-bukti yang diminta kejaksaan ketimbang mengurus testimoni tersebut. Biarlah masalah testimoni tersebut diurus oleh internal KPK. Untuk soal ini kesalahan Antasari terang benderang. Ia telah bertemu seseorang yang menurut undang-undang seharusnya tidak boleh ia temui. Ini pelanggaran berat dan Antasari bisa dihukum lima tahun atas pelanggaran itu.

Kejaksaan, sebagai pihak penuntut, mesti benar-benar mempersiapkan bukti tak terbantahkan menghadapi Antasari dan tim kuasa hukumnya di Pengadilan. Kita tak ingin ”kasus Muchdi Purwoprandjono” terulang kembali dalam perkara ini. Tersangka pembunuhan Munir tersebut lolos dari jerat hukum karena hakim menilai bukti yang dilimpahkan jaksa lemah. Kasus Munir hanya melemparkan Pollycarpus Budihari, sang pelaku lapangan, ke dalam penjara. Ada pun otak pembunuhan keji tersebut hingga sekarang tetap bebas berkeliaran.

Memang ada kesamaan mengenai alat bukti dalam kasus Antasari dan Muchdi. Terdapat bukti rekaman keduanya dengan orang yang terlibat pembunuhan. Muchdi dengan Pollycarpus dan Antasari dengan Sigid Haryo Wibisono, pengusaha yang menyediakan uang Rp 500 juta sebagai ongkos operasional melenyapkan Nasrudin. Antasari sedikitnya telah berkomunikasi lewat telepon dengan Sigid sebanyak tiga puluh kali sebelum dan setelah pembunuhan terjadi.

Mengutip Jaksa Agung Hendarman Supandji, ada perbedaan antara Muchdi dan Antasari dalam kasus ini. Jika Muchdi dan Polly menampik mereka pernah saling berkomunikasi, maka Antasari dan Sigid mengakui adanya pembicaraan antarmereka. Karena itulah, Hendarman optimistis dengan bukti-bukti yang dipegang ”pasukannya,” Antasari tidak bisa meloloskan diri dari jerat hukum sebagai otak pembunuhan Nasrudin, pria yang diakui Antasari kerap memeras dan meneror dirinya.

Tanggalnya Antasari dari jajaran pimpinan KPK kini, ibarat judul lagu, tinggal menghitung hari. Sesuai Undang-Undang, begitu ia menjadi terdakwa, maka sejak saat itu ia diberhentikan sebagai pimpinan KPK. Kita mengharap, kursi kosong yang ditinggalkan Antasari segera diisi oleh mereka yang benar-benar memiliki integritas dalam memberantas korupsi dan tak tercela. DPR tidak boleh lagi bermain mata dalam pemilihan sosok yang akan menduduki jabatan penting ini. ***

Senin, 27 Juli 2009

Tebak-Tebakan Dianggap Judi

SUNGGUH keterlaluan memang yang dilakukan aparat Kepolisian Bandara Soekarno Hatta ini. Dengan alasan melakukan praktek perjudian, mereka menangkap sepuluh bocah penyemir sepatu yang biasa mencari nafkah di bandara internasional itu. Selain sempat dijebloskan ke tahanan selama sekitar sebulan, para bocah yang rata-rata berusia delapan hingga empat belas tahun itu kini dihadapkan ke pengadilan.

Jika kemudian banyak yang memprotes tindakan polisi yang seperti kurang kerjaan tersebut, itu wajar saja. Para bocah itu bukanlah penjudi. Mereka hanyalah sekumpulan anak yang mungkin tengah menghibur diri dengan bermain tebak-tebakan gambar koin setelah lelah mencari nafkah di bandara. Anak-anak itu, yang tengah liburan sekolah, terpaksa menjadi penyemir karena harus membantu orang tua mereka miskin. Dengan pekerjaan itu pula mereka mendapat uang untuk biayai sekolah.

Polisi mengenakan pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menjerat kesepuluh bocah tersebut. Pasal yang melarang perjudian itulah yang dijadikan dasar jaksa menuntut para bocah di Pengadilan Negeri Tangerang. Jika hakim memutuskan para bocah tersebut terbukti melakukan perjudian, mereka bisa terancam hukuman hingga lima tahun penjara. Para anak-anak itu bakal kehilangan bangku sekolah dan dipisahkan dari orangtua mereka.

Kita berharap hakim tidak gegabah memutus perkara ini. Seringan apa pun hukuman yang dijatuhkan, akan berdampak bagi anak-anak tersebut. Mereka akan mendapat cap ”narapidana,” ”penjahat,” ”penjudi,” atau sebutan lain berkonotasi negatif yang bisa jadi akan mempengaruhi jiwa mereka. Kita tak ingin ini terjadi pada para bocah tersebut. Karena itu, kita berharap hakim menolak semua dakwaan jaksa dan membebaskan mereka.

Para bocah itu mesti dibebaskan bukan saja karena dakwaan jaksa lemah, tapi proses penangkapan mereka pun patut dipertanyakan. Pertama, perihal tuduhan berjudi. Yang dimainkan para bocah itu, yang mereka sebut macan brang, bukan judi seperti ditentukan pasal 303 KUHP. Ini murni permainan anak-anak yang lazim ditemui di kampung-kampung sekitar bandara. Unsur perjudian seperti diatur pasal 303, yakni sebagai matapencarian dan untuk memperkaya diri, jelas berlebihan diterapkan untuk judi ”kelas macan brang” ini.

Kedua proses penangkapan dan pemeriksaan terhadap mereka. Jika aparat Kepolisian Soekarno Hatta paham hukum, seharusnya mereka mengetahui prosedur menangani anak-anak yang dituduh melakukan tindak pidana. Undang-Undang Pengadilan Anak memerintahkan, tindakan pertama penegak hukum menghadapi hal semacam ini adalah mengembalikannya kepada orangtua agar mendapat pembinaan. Bukan serta merta menahan dan bersemangat mengirimkannya ke pengadilan. Dalam hal ini aparat Kepolisian Bandara telah melakukan kesalahan mendasar.

Kita juga menyesalkan sikap kejaksaan yang dengan gampangnya menerima kasus ”remeh temeh” ini. Mestinya, kejaksaan menolak perkara ini, menyatakan tak layak untuk diproses dan meminta polisi lebih baik mencari dan menangkap para penjudi kakap yang jelas-jelas memenuhi unsur Pasal 303.

Kini, yang kita harap, hakim memakai semangat melindungi anak dalam menangani perkara ini. Mereka harus dibebaskan, dihindarkan dari stigma sebagai narapidana, agar bisa menjalani kehidupan normal kembali.(LR.Baskoro) ***

Kamis, 16 Juli 2009

Tai Chi di Jakarta

Sejumlah teman bertanya, di mana mereka bisa ikut latihan Tai Chi di Jakarta. Lewat milis ini semoga bisa membantu. Tai Chi yang saya ikuti adalah Tai Chi ji kung Pro Patria. Memadukan pernafasan dan gerak badan. Di Jakarta latihannya di Depok Town Centre di dekat perumahan Maharaja. Dari stasiun Depok Baru naik angkutan kota 03 dan pas turun di depannya. Latihannya setiap hari Selasa dan Santu malam dari pukul 19.00- 21.00.

Ada pun di Bogor latihannya setiap Hari Minggu pukul 14.00-16.00 dan Rabu malam pukul 19.00-21.00.

Di dua tempat ini pelatihnya sama: Pak Noviar. Jika ingin lebih tahu tentang Tai Chi ini silakan hubungi beliau. Nomor teleponnya: (0813 1780 7842) dan 021 44686921 (flexi)

Senin, 06 Juli 2009

Tai Chi

Akhirnya saya latihan Tai Chi. Sungguh hal yang tak terbayangkan saya bertemu kembali dengan guru Kung Fu saya sekitar 17 tahun lalu, saat saya masih kuliah di UGM, Mas Noviar.

Dulu saat mahasiswa saya memang ikut kungfu Pro Patria. Salah satu hal yang saya senangi dari kung fu Pro Patria ini adalah jurus-jurus harimau dan latihan pernafasannyal. Saya yakin, pernafasan memang inti kekuatan.

Saya tidak sengaja menemukan Tai Chi Pro Patria ini. Saya melihat pengumumannya di gedung olahraga Padjadjaran, Bogor. Saya datang dan mendaftar, dan ternyata bertemu lagi dengan Mas Noviar. Kami latihan tiap hari Minggu pagi dan Rabu malam.

Saat di Yogya saya memang belum pernah mendengar Tai Chi Pro Patria ini. Setelah latihan, saya teringat, beberapa gerakannya memang persis dengan gerakan kung fu. Yang jelas, latihan ini memang akan membuat badan bugar, sehat dan nafas tidak lagi ngos-ngosan. Latihan seminggu dua kali, saya kira cukup.

Berikut manfaat latihan Tai Chi yang saya peroleh:
1. Meningkatkan aliran darah ke jantung, menguatkan otot-otot jantung, dan membuat denyut jantung menjadi lebih lambat dan efisien. Peningkatan aliran darah ini memperbaiki kesehatan umum dari seluruh organ tubuh.
2. Meningkatkan kelenturan organ paru-paru dan meningkatkan efisiensi fungsi paru-paru, sehingga akan dapat menarik lebih banyak oksigen yang dihirup.
3. Meningkatkan kekuatan tulang-tulang, persendian, dan meningkatkan kelenturannya, sehingga dapat mengurangi osteoporosis (pengeroposan tulang).
4. Pemusatan perhatian yang dalam pada gerak dan pernapasan akan merangsang otak, meningkatkan konsentrasi dan ketenangan.
5. Mempercepat penyembuhan berbagai penyakit (sakit kepala, migrain, dan vertigo; reumatik, sakit pinggang; gangguan fungsi ginjal, diabetes; asma dan sesak napas; lemah syahwat dan ejakulasi dini; sakit keputihan dan gangguan haid; lemah jantung; sakit lever; gangguan pencernaan dan sembelit; tekanan darah tinggi dan tekanan darah rendah; dan lain-lain, selain penyakit karena virus, bakteri dan jamur).
6. Fungsi beladiri, menangkal serangan yang "tampak" maupun yang "tidak tampak".

Tak Zamannya Lagi Isu Agama

MENGHALALKAN segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah cara berdemokrasi yang benar. Karena itu, kita menyesalkan terjadinya kampanye hitam yang menimpa calon wakil presiden Budiono. Perilaku semacam ini tidak saja jauh dari etika politik, tapi juga telah menciderai pesta demokrasi kita. Pemilihan presiden yang mestinya berjalan elegan telah dinodai dengan cara kasar dan ”kampungan.”

Kampanye hitam itu terjadi saat calon wakil Presiden Jusuf Kalla berdialog dengan masyarakat di Asrama Haji, Medan, dua pekan lalu. Di tengah-tengah kampanye dialogis tersebut, beredar selebaran berupa fotokopi artikel Tabloid Indonesia Monitor edisi 3-9 Juni berjudul ”Apakah PKS Tidak Tahu Istri Budiono Katolik?” Selebaran yang menuding Herawati, isteri Budiono seorang Katolik itu serta menjadi pembicaraan masyarakat yang menghadiri kampanye Kalla. Herawati sendiri sebenarnya seorang muslim.

Peristiwa di Asrama Haji itu langsung mendapat reaksi keras dari tim kampanye SBY-Budiono. Mereka menuding selebaran dan isu agama tersebut sengaja diedarkan dan diembuskan ”tim JK-Wiranto” untuk mendeskreditkan Budiono. Tujuannya: masyarakat, khususnya kaum muslimin, tidak memilih pasangan SBY-Budiono. Tidak hanya menuntut JK-Wiranto meminta maaf, tim kampanye SBY juga melaporkan kasus ini ke Badan Pengawas Pemilu dan polisi.

Sejauh ini siapa otak di belakang selebaran gelap itu masih belum jelas benar. Kepada polisi, seorang penyebarnya, yang kini menjadi tersangka, justru memberi pengakuan mengejutkan: yang menyuruh ia melakukan semua itu anggota tim sukses SBY. Jusuf Kalla sendiri menampik jika timnya melakukan kampanye seperti itu. Ia menyebut kampanye hitam di Medan tersebut sengaja untuk menjebak dirinya. Karena itu pula, wajar jika Jusuf Kalla berang dan meminta aparat memeriksa peristiwa di Medan itu.

Badan Pengawas Pemilu dan Polisi harus mengusut kasus ini sampai tuntas ini. Melihat ”matarantai” penyebarnya, rasanya tak terlalu sulit bagi polisi membekuk otak pelakunya. Apalagi nama-nama yang dicurigai berada di balik ini semua sudah di tangan polisi. Kita mengharap, dengan demikian, akan jadi terang benderang. Siapa sebenarnya yang ”bermain” atau melakukan fitnah dalam kasus ini. Siapa pun pelakunya harus mendapat hukuman setimpal.

Kita menyesalkan isu agama tetap saja dipakai untuk hal-hal demikian. Sebagai ”bangsa yang besar ” (bukankan demikian kita kerap mengklaim?) mestinya kita sudah menanggalkan pemikiran seperti itu: mempersoalkan keyakinan seseorang yang berbeda dengan kita. Kita sepakat, agama adalah masalah pribadi, masalah pilihan seseorang untuk berhubungan dengan yang ”di atas.” Jika pun isteri Budiono, misalnya, benar beragama katolik, apa yang salah?

Bangsa ini dibentuk di atas banyak perbedaaan: agama, suku, bahasa, golongan, dan lain sebagainya. Para pendiri bangsa, para founding fathers, memaklumi adanya kemajemukan yang luar biasa itu dan justru menyatukan perbedaan itu untuk menjadi kekuatan. Kita juga memiliki slogan bhinneka Tunggal Ika yang kita hafal luar kepala sejak kita duduk di bangku sekolah dasar. Karena itu, jika bangsa ini kini masih saja mempersoalkan perbedaan-perbedaan itu, niscaya bangsa ini tak akan maju-maju. (Baskoro)

Selasa, 17 Maret 2009

Jangan Berhenti pada Abdul Hadi

Oleh LR. Baskoro


PENANGKAPAN Abdul Hadi Djamal tidak saja akan menambah daftar anggota Dewan yang masuk bui, tapi juga makin memperlihatkan, DPR memang lembaga korup dan sulit untuk dibenahi. Para legislator kita ini seperti bebal, tak jeri, dan tak kapok-kapok. Tertangkapnya Al Amin Nur Nasution, Bulyan Royan, atau Sarjan Taher lantaran menerima suap seperti tak memberi pelajaran sedikit pun bagi mereka. Penyakit korupsi dengan memanfaatkan kekuasaan sebagai anggota Dewan tampaknya sudah seperti candu. Nikmat dan sulit ditinggalkan.

Abdul Hadi ditangkap karena menerima suap Rp 1 miliar dari Hontjo Setiawan, pengusaha yang kerap mendapat proyek dari Direktorat Perhubungan Laut. Duit itu diduga sebagai bagian dari uang muka untuk menggolkan proyek pembangunan pelabuhan yang diincar Hontjo. Sebagai anggota Komisi Perhubungan merangkap Panitia Anggaran peran Abdul Hadi penting. Proyek itu tak akan gol jika Panitia Anggaran, yang anggotanya berasal dari berbagai komisi di DPR, menolak.

Karena itu jelas Abdul Hadi, seperti pengakuannya, tidak mungkin bermain sendiri dalam kasus ini. Pengakuan anggota legislator dari Partai Amanat Nasional ini bahwa ia telah menyerahkan duit Rp 1 miliar, antara lain, kepada anggota Partai Demokrat yang juga Wakil Ketua Panitia Anggaran, Jhonny Allen Marbun, harus juga jadi pintu masuk KPK membongkar kasus ini hingga tuntas. Kita tidak menerima jika kasus ini hanya berhenti pada Abdul Hadi, Hontjo, dan Darmawati, pegawai Departemen Perhubungan yang diduga perantara Abdul dan Hontjo. Jika ini terjadi, sulit tidak mengatakan, KPK memang selalu berpikir seribu kali jika sudah berhubungan dengan anggota Dewan.

Kasus Abdul Hadi juga semakin menunjukkan, Panitia Anggaran, lembaga yang memiliki hak budget itu, perlu pengawasan ketat. Sebagai salah satu alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, lembaga ini memang perlu. Panitia memiliki wewenang menyetujui atau tidak, proyek-proyek yang diajukan Departemen dan dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Ini memang mekanisme demokrasi bagus. Sebagai wakil rakyat, mereka memang harus mengontrol proyek-proyek yang menggunakan duit rakyat.

Persoalannya, jika kewenangan itu kemudian diselewengkan. Terjadi kolusi antara wakil rakyat, pemegang kekuasaan di departemen, dan pengusaha, untuk menggolkan proyek tertentu. Maka yang terjadi, kemudian, rentetan penyelewengan selanjutnya. Misalnya, pembengkakan anggaran atau penggolan proyek yang, bahkan, bisa jadi sebenarnya sangat tidak diperlukan masyarakat.

Dengan tertangkapnya Abdul Hadi, ada dua hal yang mesti dilakukan. Pertama, KPK harus segera memeriksa semua anggota DPR dan pejabat Departemen Perhubungan yang diduga terlibat kasus ini. KPK bahkan harus memeriksa kembali proyek-proyek Departemen Perhubungan yang selama ini “dipegang” Hontjo. Kelambanan KPK menelisik Departemen Perhubungan, bisa memberi kesempatan mereka yang terlibat kasus ini menghilangkan barang bukti.

Kedua, mesti ada kontrol kuat terhadap kerja Panitia Anggaran. Untuk ini tak ada cara lain selain harus dibuat peraturan yang menutup semua celah yang berpontensi membuat anggota Panitia Anggaran “bermain mata” dengan siapa pun. Misalnya, terlarang bagi anggota membahas proyek dan anggaran dengan pejabat atau pengusaha selain dalam rapat resmi yang terbuka. Mereka yang melanggar aturan ini, misalnya, mendapat sanksi dipecat dari anggota Dewan. Tanpa ada aturan dan saksi keras semacam itu, “Abdul Hadi, Abdul Hadi” lain akan tetap bermunculan ***

Selasa, 03 Februari 2009

In Memoriam Yusril Djalinus

SEORANG tokoh Majalah Tempo Yusril Djalinus, meninggal dunia. Kemarin, di tengah rintik hujan, saya ikut mengantarkannya ke liang lahat, tempat peristirahatannya terakhir, di pemakaman umum Genteng,Pasar Senen, Purwakarta. Ia dimakamkan di bawah sebatang pohon, di dekat adik wanitanya, yang meninggal lebih dulu. “Seharusnya saya yang pergi duluan, “ kata Goenawan Mohamad saat melepas kepergian jenasahnya di “rumah kedua” Yusril di Jalan Kapten Halim, Purwarkata.

Di kota tempatnya dibesarkan ini, Yusril memiliki semacam vila keluarga. Setiap Sabtu dan Minggu, bersama istri, anak, cucu dan sekitar sebelas guru bahasa Inggris, mereka menginap di tempat itu. Di sana ia membuka kursus bahasa Inggris, yang muridnya, kini sekitar 200 orang, kebanyakan murid SD dan SMP. Kursus itu, di hari Sabtu dan Minggu, digelar di udara terbuka atau di dalam semacam saung-saung mungil yang dibangunnya bersama istrinya.

Saya mengenal Bang Yusril, demikian saya memanggilnya, sekitar 18 tahun silam. Saat itu saya, yang baru lulus kuliah, diterima di Majalah FORUM Keadilan. Saat saya mendatangi majalah itu di Velbak (yang kini menjadi kantor Koran Tempo), baru saya tahu, majalah FORUM itu menerima reporter karena akan diterbitkan dalam bentuk baru. Menjadi majalah komersil, hasil kerjasama dengan penerbit Majalah Tempo.

Pemilik Tempo mengirim, seingat saya tiga orang penting awaknya untuk membangun majalah yang sebelumnya milik Kejaksaan Agung tersebut. Karni Ilyas sebagai pemimipin redaksi, Sukardi Darmawan sebagai kepala pemasaran (kini bos Majalah Info Kelapa Gading), dan Yusril Djalinus.

Kami tidak tahu persis dalam kapasitas apa Bang Yusril di redaksi. Ia tidak memiliki jabatan, tapi nyaris selalu hadir dalam rapat redaksi dan juga rapat managemen FORUM. Tapi, jelas, ia memiliki peran penting. Bahkan, menurut saya, sangat penting. –Mungkin semacam wakil manajemen Tempo.

Selain Bang KI (demikian kami memanggil Karni Ilyas) dan Yusril, di FORUM baru ini ada pula Panda Nababan, mantan wartawan Sinar Harapan yang kini jadi petinggi di PDI-P.

Saya kira tiga orang inilah yang mewarnai FORUM, membuat FORUM melesat, sehingga di masa jaya, oplahnya pernah di atas 120 ribu.

Bang Yusril, seperti halnya, kebanyakan wartawan senior Tempo, memiliki kejelian menciptakan angle yang luar biasa. Saya teringat saat kami rapat perencanaan. Di tengah-tengah rapat dengan kami para reporter kroco, ia mengeluarkan selarik kertas dari saku bajunya. Ia membacakan sejumlah berita-berita menarik yang didapatnya dari surat kabar. “Berita-berita ini layak dikembangkan dan cocok untuk Forum,” katanya.

FORUM saat itu laris karena, antara lain, keberanian dan kesuksesannya menembus sejumlah sumber berita. Karena itulah, biasanya cover majalah itu adalah tokoh yang diwawancarai. Dalam rapat-rapat sebelum mencari narasumgber itu, Bang Yusril selalu menyampaikan hal yang menurut dia sangat penting, yakni, “bagaimana kita menjual pertanyaan. “ Belakangan, saya sadar ini memang pertanyaan yang ditujukan untuk “berjualan.” Untuk dijual.

Seingat saya, ada beberapa tokoh yang terhenyak saat kami mewawancarai mereka dengan “pertanyaan menjual” versi didikan Bang Yusril itu. Misalnya, “Benarkah Anda menolak ditugaskan Soeharto menjadi duta besar? (pertanyaan untuk Benny Moerdani) atau “Benarkah Anda dipecat karena melawan Soeharto?” Betulkan Anda sakit hati dengan Soeharto? Memang dulu Anda bersekongkol mau melawan Pak Harto (pertanyaan untuk Letnan Jenderal Soemitro). Atau "Emang Bang Ali menang kalau melawan Pak Harto (dengan Ali Sadikin).

Seingat saya, memang tak ada sumberpun yang menempeleng kami jika kami membuat pertanyaan kurangajar itu. Seingat saya, narasumber itu, paling “pol,” hanya berteriak "Tahi pedut!" (Ali Sadikin) atau “Kamu ini kok goblok banget jadi wartawan,” seperti diucapkan almarhum Soemitro sambil menggelengkan kepalanya keras-keras seperti sangat heran, kok ada wartawan segoblok kami yang berani-beraninya datang mewawancarainya. Jika kemudian kami menceritakan ini kepada Bang Yusril, biasanya ia hanya berkomentar, “he..he..he…”

Saya bertemu kembali dengan Bang Yusril saat Majalah Tempo membuat Koran Tempo akhir tahun 2000. Saat itu, dengan sejumlah teman, saya pindah dari FORUM Pria rapi ini sangat antusias membentuk Tempo News Room (TNR)- kantor berita Tempo. Rencananya, TNR inilah pusat dan akan menjadi penyuplai berita untuk Koran Tempo. Saat itu saya ditunjuk sebagai penanggungjawab pembentukan jaringan koresponden Koran Tempo di seluruh Indonesia.

Suatu ketika, datanglah seorang lelaki dari Purwakarta. Ia memperkenalkan diri sebagai Nanang. Ia datang bersama seorang pria, demikian Nanang memperkenalkan pria itu, adik Pak Yusril. Nanang ingin menjadi wartawan Tempo. Karena memang kosong dan ada pengalaman, saya menerimanya dan, seperti biasanya, ia harus lulus uji coba dulu selama sembilan bulan.

Setelah mereka pulang, saya ceritakan pertemuan itu dengan Bang Yusril. Ia meminta saya tetap memperhatikan calon wartawan itu. “Jangan mentang-mentang teman adik saya langsung diterima,” ujarnya.

Seperti Koran Tempo, TNR memiliki rapat perencanaan sendiri. Rapat itu dimulai pukul 8.30 pagi, setengah jam sebelum rapat Koran Tempo. Sekitar selama setahun, di awal-awal Koran Tempo, kami para redaktur TNR membuat perencanaan rapat dengan Bang Yusril. Ia memberi saran-saran berita apa yang harus dikembangkan dan dicari wartawan TNR. “Sehingga semua yang direncanakan koran, TNR sudah melakukannya,” ujarnya.

Setelah tak lagi di TNR saya jarang bertemu dengan beliau. Pertemuan saya terakhir dengan pria yang juga anggota perhimpunan pecinta alam Wanadri itu, Rabu pekan lalu, saat rapat opini Majalah Tempo. Ia hanya tersenyum ketika saya melirik telepon genggamnya yang ketika itu melantunkan lagu-lagu bernuansa islami. Dua hari kemudian ia masuk rumah sakit. Kini ia telah pergi. “Saya bersyukur bisa mengantarkannya pergi,” kata Goenawan Mohamad, terisak dan kemudian berhenti, tak mampu lagi melanjutkan pidatonya di depan jenazah sahabatnya itu. Selamat jalan Bang Yusril…

Senin, 19 Januari 2009

Duit Tommy di Paribas

Pengadilan banding Guernsey, Inggris, akhirnya memenangkan gugatan banding Tommy Soeharto atas pemerintah Indonesia. Hakim memerintahkan pembekuan duit pangeran Cendana senilai sekitar Rp 540 miliar itu diakhiri. Pemerintah menyiapkan sejumlah langkah baru untuk melakukan pertarungan kembali dengan Tommy.





PUTUSAN setebal 33 halaman yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Geoffrey Charles Vos itu mengakhiri pertarungan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dan Pemerintah Republik Indonesia di pengadilan banding di Guernsey, Inggris.

Jumat dua pekan lalu, didampingi dua hakim lainnya, Clare Patricia Montgomery dan Geoffrey Robert Rowland –yang juga Ketua Pengadilan Banding- Vos menyatakan Garnet Invesment Limeted berhak atas duit senilai 36 juta euro (sekitar Rp 540 miliar) yang kini mengendap di rekening Garnet di kantor cabang Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas. Hakim memerintahkan pembekuan rekening Garnet atas permintaan pemerintah Indonesia—yang merupakan keputusan pengadilan tingkat pertama- harus diakhiri.

Dalam sidang yang berlangsung sekitar 4,5 jam itu, Vos memaparkan pertimbangan hakim yang mengandaskan semua alasan Pemerintah Indonesia perlunya rekening itu dibekukan. Menurut hakim pemerintah Indonesia tidak pernah bisa membuktikan Tommy juga ayahnya, Soeharto, melakukan korupsi besar-besaran seperti yang dituduhkan di persidangan.

Vos menunjuk sejumlah perkara yang tidak bisa menunjukkan Tommy melakukan korupsi. Dalam perkara Goro-Bulog, misalnya, pengadilan mengalahkan pemerintah dan kasus ini diselesaikan secara damai. “Ini menunjukkan perkiraan pemerintah atas perkara lainnya terhadap Hutomo Mandalan Putra diragukan,” kata Vos.

Vos menilai pemerintah Indonesia tak melakukan penegakan hukum apapun atas tuduhan korupsi itu. Padahal, ujarnya, pemerintah punya waktu beberapa tahun sebelum Soeharto wafat. “Bahkan tujuh bulan setelah ayahnya wafat pun, tidak ada penegakan hukum apapun atas dugaan tindak pidana korupsi Tommy,” ujarnya.

Menurut Vos, Pemerintah Indonesia juga telah gagal membawa “kasus Soeharto” ke pengadilan lain di luar negeri untuk mencari atau membekukan kekayaan milik Soeharto dan Tommy. Kegagalan ini, ujar Vos, menjadi catatan penting bagi hakim lantaran rekening di Guernsey dinilai relatif kecil dibanding kekayaan Soeharto. Karena itu, ujar Vos, pengadilan menilai tuduhan korupsi besar-besaran yang dilakukan Tommy lebih bersifat politis ketimbang fakta hukum. “Tommy sampai menangis mendengar kabar gembira itu,” kata Otto Cornelis Kaligis, pengacara yang mewakili Tommy bertempur melawan Pemerintah RI di Guernsey.

GARNET adalah perusahaan yang seratus persen dimiliki Hutama Mandala Putra, putra bungsu Soeharto. Perusahaan berbadan hukum di British Virgin Islands -sebuah negara koloni Inggris di Kepulauan Karibia- ini bertugas mengelola sebagian harta Tommy Soeharto. Atas nama “pangeran Cendana” itu, pada 1998, Garnet menyimpan dananya di BNP Paribas, Guernsey, sebuah pulau seluas sekitar 194 kilometer persegi yang terletak di Selat Channel, selat yang memisahkan Inggris dan Prancis.

Perkara banding Garnet berawal dari pembekuan rekening yang dilakukan BNP Paribas pada 2002. Sikap keras bank asal Prancis ini didukung hasil investigasi Financial Intelligence Services, lembaga pelacakan keuangan di Inggris, yang menyatakan tiga rekening milik Tommy “terkait dengan Soeharto” yang diduga melakukan korupsi selama menjadi presiden. Lantaran tak bisa mencairkan duitnya itu, Garnet lantas menggugat Paribas ke pengadilan.

Di sini pemerintah Indonesia “masuk.” Dalam gugatan intervensinya, pemerintah menyatakan uang Tommy itu hasil korupsi. Pengadilan Guernsey menerima gugatan itu dan memerintahkan pemerintah Indonesia membuktikannya. Amunisi pun disiapkan. Ada lima kasus yang diperkirakan dapat memenangkan pemerintah: Bulog, BPPC, Yayasan Supersemar, Petra Oil, dan PT Timor Putra Nasional/PT Vista Bella.

Dua tahun kemudian pada 28 Agustus 2008, pengadilan Guernsey memutuskan memperpanjang pembekuan duit Tommy hingga 23 Mei 2009. Terhadap putusan ini Garnet segera mengajukan banding. Hasilnya, ya itu tadi. Pengadilan meluluskan banding Garnet.

Di Tanah air, kabar buruk untuk pemerintah itu langsung disampaikan Simon, H. Davies, pengacara yang mewakili pemerintah kepada Yoseph Suardi Sabda, jaksa pengacara negara. “Kami sudah memprediksi, putusannya akan seperti ini,” kata Yoseph kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Menurut Yoseph hakim pengadilan banding Guernsey telah salah menerapkan hukum. Seharusnya, ujar Yoseph, yang dipertimbangkan hakim adalah permohonan pembekuan aset yang diajukan pemerintah berdasar hukum atau tidak.
Selain itu, hakim juga seharusnya mempertimbangkan apakah putusan pengadilan tingkat pertama yang mengabulkan permohonan pemerintah berdasar hukum atau tidak. “Hakim salah, karena yang dipertimbangkan justru soal tepat tidaknya tindakan pemerintah Indonesia menyelesaikan dugaan korupsi Soeharto dan Tommy,” kata Yoseph. “Hakim tidak berhak menilai keputusan pengadilan kita.”

Kendati memenangkan gugatan itu, ujar Yoseph, tidak serta merta Tommy bisa mencairkan uangnya. Putusan banding itu, kata dia, hanya menjawab gugatan intervensi yang dilakukan pemerintah Indonesia. “Putusan itu belum menjawab gugatan pokok perkara Garnet yakni pembekuan rekening yang dilakukan oleh BNP Paribas.”

Kalah di tingkat banding, Kejaksaan kini menyiapkan “senjata” baru untuk kembali “diluncurkan” di Guernse. “Masih ada tiga cara untuk melawan putusan pengadilan banding itu,” kata Jaksa Agung Hendarman Supandji. Ketiga cara itu: mengajukan permohonan peninjauan ulang (motion for reconsideration) ke pengadilan banding Guernsey, mengajukan banding kepada Mahkamah Agung Inggris, dan terakhir mengajukan permohonan baru pembekuan (fresh application for freezing order) kepada pengadilan Guernsey. “Dari ketiga cara itu saya cenderung kepada pilihan terakhir,” kata Yoseph.

Pilihan terakhir itu sendiri akan tergantung pada putusan Pengadilan atas perkara pemerintah melawan PT Vista Bella yang, jika tidak ada aral melintang, bakal dibacakan Senin pekan ini.

Menurut Yoseph, jika pemerintah menang, berarti terbukti ada afiliasi Vista dengan Timor yang merugikan negara. Faktanya, ujar Yoseph, Vista Bella memang hanya membayar Rp 512 miliar untuk membeli hak tagih utang Timor sebesar Rp 4,6 triliun. Menurut Yoseph membuktikan ada tidaknya afiliasi itu sendiri mudah. “Vista Bella kan terbukti tidak pernah menagih ke Timor.”

Jika pekan ini pengadilan memenangkan pemerintah, maka “modal putusan hakim” itulah yang segara dibawa ke Guernsey. Bagaimana jika kalah? “Pilihannya hanya meminta peninjauan ulang atau mengajukan banding ke Mahkamah Agung Inggris.”

Untuk bisa diajukan ke Mahkamah, Joseph menyebut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pemberantasan Korupsi (UNCAC) bisa dijadikan dasar gugatan banding. Menurut Yoseph, gugatan ke Mahkamah bisa dilakukan karena ada petunjuk duit yang disimpan di bank Paribas hasil pengayaan diri secara tidak sah (illicit enrichment). “Pakai logika saja, bagaimana mungkin seseorang yang baru 33 tahun memiliki uang Rp 500 miliar,” katanya. “Kalau usaha legal, tentu sulit mengumpulkan uang sebanyak itu dalam usia semuda.” ujarnya.

O.C. Kaligis sendiri tak gentar menghadapi calon amunisi terbaru Kejaksaan ini. Menurut dia, putusan tiga hakim pengadilan Guernsey sudah final dan berkekuatan hukum tetap. Langkah kejaksaan untuk melawan Tommy kembali di pengadilan Inggris itu, menurut dia, juga tak mudah. “Langkah kejaksaan sudah tertutup,” ujarnya. ***

Anne L Handayani, Rini Kustiani (Dimuat di Majalah Tempo, 19 Januari 2009)

Rabu, 14 Januari 2009

Muchdi Bebas

PENGADILAN Negeri Jakarta Selatan membebaskan Muchdi Purwoprandjono dari dakwaan sebagai penganjur pembunuhan Munir. Sejumlah kejanggalan muncul sepanjang kasus ini.

***


SUCIWATI tertunduk lesu. Air matanya menetes. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu, pengujung tahun pekan lalu itu benar-benar menohok dirinya. Namun, ibu dua anak itu berupaya tetap tegar. Dengan cepat ia menyeka air matanya. “Meski saya sudah menduga keputusannya seperti ini, saya tetap shok, marah, dan sakit hati,” ujar perempuan, 37 tahun ini kepada Tempo.

Beberapa jam sebelumnya majelis hakim yang diketuai Suharto dan beranggotakan Achmad Yusak dan Haswandi membebaskan Muchdi Purwoprandjono dari seluruh dakwaan keterlibatan dalam pembunuhan suaminya, Munir Said Thalib. Sebelumnya jaksa menuntut Muchdi hukuman 15 tahun penjara.

Menurut hakim, dakwaan jaksa bahwa Muchdi yang saat itu menjadi Deputi V bidang Badan Intelijen Nasional (BIN), menganjurkan atau menyuruh Pollycarpus Budihari Priyanto membunuh Munir, tidak terbukti. Hakim memang merontokkan semua dakwaan yang ditembakkan jaksa terhadap Muchdi dalam kaitan tewasnya Munir.

Empat tahun silam, 7 September 2004, aktivis pembela hak asasi manusia itu tewas dalam pesawat Garuda GA 974 yang sedang membawanya ke Amsterdam. Tubuh pria 39 tahun ini kaku di atas langit Rumania, tujuh jam setelah pesawat meninggalkan bandara Changi, Singapura.

Belakangan, terungkap pelaku pembunuhan itu Pollycarpus Budihari Priyanto pilot garuda yang juga “merangkap” agen BIN. Polly sendiri, setelah dituntut penjara seumur hidup, pada 25 Januari 2008 divonis Mahkamah Agung 20 tahun penjara. Menurut majelis hakim, Polly meracun Munir saat pesawat transit di Singapura. Caranya: dengan memasukan racun arsenik ke dalam minuman kopi saat keduanya kongkow di Coffee Bean, bandara Changi, kota Singa itu.

Tim penyidik kasus Munir terus bergerak. Belakangan setelah memeriksa belasan saksi yang terlibat kasus ini, termasuk di antaranya sejumah agen BIN, polisi menahan Muchdi. Deputi bidang penggalangan ini diduga sebagai pihak yang berperan penting dalam operasi pelenyapan Munir.

Menurut ketua tim jaksa, Cirus Sinaga, motif utama yang membuat Muchdi ingin melenyapkan Munir adalah dendam dan sakit hati. Gara-gara Munirlah, menurut jaksa, Muchdi dicopot dari jabatannya sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Saat itu, ujar Cirus, Munir mempersoalkan peran Kopassus dalam kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa. Menurut Suciwati, suaminya pernah mengatakan, Muchdilah orang yang paling sakit hati lantaran terungkapnya kasus penculikan oleh Tim Mawar Kopassus.

Tapi motif sakit hati ini diruntuhkan hakim. Menurut majelis hakim, ucapan Munir itu hanya menggambarkan kekhawatiran saja. Kesaksian Suciwati yang mengaku pernah diteror dengan cara mendapat kiriman ayam mati dinilai hakim tidak merujuk siapapun. “Saksi (Suciwati) tidak tahu siapa pengirimnya,” kata Haswandi, salah satu anggota majelis hakim.

Tidak hanya soal motif, surat rekomendasi agar Pollycarpus dijadikan aviation security, juga dinilai hakim tak ada sangkut pautnya dengan Muchdi.

Surat ini sebenarnya mata rantai penting menuju “penghilangan” Munir. Ini bukan surat asli. Inilah dokumen yang “dikeluarkan” tim penyidik Mabes Polri dari komputer BIN. Surat aslinya ditandatangani Wakil BIN, M. As’ad . Isinya, memerintahkan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, menjadikan Polly sebagai aviation security. Dalam kesaksiannya, Indra menyatakan ia pernah ke kantor BIN untuk menanyakan perihal surat itu. Di sana, ia bertemu dengan Muchdi dan As’ad.

Kendati menyatakan “surat kloning” itu sah sebagai alat bukti, hakim menyatakan surat tak bisa menunjukkan keterlibatan Muchdi dalam kaus tewasnya Munir. “Dalam surat itu, tidak ada yang mengarah kepada terdakwa (Muchdi),” kata Haswandi. “Rekomendasi Pollycarpus masuk dalam Unit Keamanan Korporasi itu bukan tindakan pidana atau permufakatan jahat yang diatur dalam undang-undang,” katanya lagi.

Hakim juga menyingkirkan fakta adanya catatan hubungan telepon (call data record) antara Pollycarpus dengan Muchdi. Sebelumnya tim penyidik menemukan sedikitnya terjadi 41 kali hubungan telepon antara Polly dan Muchdi. Bahkan saat Munir tewas, terungkap ada 16 kali hubunganb telepon antara Polly dan Muchdi.

Di persidangan Muchdi berkali-kali menepis pernah menelepon atau ditelepon Polly. Soal ini rupanya hakim sepakat. Menurut hakim, tidak ada yang menunjukkan telepon itu dipakai sendiri oleh Pollycarpus dan Muchdi. “Isi pembicarannya juga tidak diketahui,” ujar Haswandi.

Soal kesaksian Budi Santoso, mantan Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi BIN, yang disodorkan jaksa juga ditampik hakim. Kepada polisi, Budi sebelumnya mengaku pernah memberi uang Rp 10 juta kepada Polly atas perintah Muchdi. Ia juga pernah mendengar beberapa kali Polly menyatakan akan “menghabisi” Munir. Kepada polisi ia juga menyatakan kerap menjadi penghubungan antara Polly dan Muchdi.

Nah, menurut hakim bukti ini juga tak kuat untuk menyatakan Muchdi berada di balik tewasnya Muchdi. Menurut hakim, bukti yang ada sekadar catatan pengeluaran keuangan dalam buku kas yang dibuat Budi. “Tak ada satupun yang mendukung keterangan saksi itu, ” ujar Haswandi.

Dengan tidak adanya satu pun bukti keterlibatan Muchdi dalam kasus tewasnya Munir inilah, maka majelis hakim menyatakan Muchdi tidak terlibat apa pun dalam tewasnya Munir.

Putusan hakim Rabu pekan lalu, disambut gegap gempita ratusan pendukung Muchdi. Selain berteriak-teriak “hidup Muchdi,” puluhan pendukung Muchdi -yang sejak pagi sudah “menguasai ruang sidang- menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sementara, ratusan pendukung Munir yang kecewa dengan putusan hakim, dengan lantang berteriak, “Pembunuh….pembunuh….”

Muchdi sendiri tersenyum lebar menyambut “hadiah” yang diterimanya menjelang tutup tahun 2008 lalu itu. “Saya yakin bebas,” katanya. “Tidak ada bukti dan saksi yang memberatkan saya.”


SEJUMLAH saksi yang sebelumnya diperkirakan akan membuat Muchdi tersudut dan tak berkutik memang sudah rontok di tengah jalan. Semuanya menyatakan mencabut pengakuan mereka seperti yang tertera dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Staf Tata Usaha Deputi V BIN, Zondy Anwar dan Aripin Rachman, misalnya. Saat diperiksa polisi keduanya mengaku pernah melihat Pollycarpus di ruangan Muchdi. Belakangan di persidangan keduanya mencabut keterangannya itu. Demikian pula bekas Kepala Seksi Administrasi BIN, Kawan. Kepada polisi, Kawan bercerita, ia pernah melihat Polly di ruangan Budi Santoso, Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi BIN. Tapi, lagi-lagi, di persidangan Kawan berkelit dan mencabut keterangannya.

Keterangan paling dahsyat adalah yang diberikan Budi Santoso. Dua kali Budi diperiksa penyidik, yakni, 3 dan 8 Oktober 2007. Kepada penyidik, Budi mengaku ia pernah melihat Polly di ruangan Muchdi. Ia juga pernah menyerahkan uang Rp 10 juta, Rp 3 juta, dan Rp 2 juta kepada Polly atas perintah Muchdi. Saat kematian Munir ia mengaku ditelepon Polly yang menanyakan keberadaan Muchdi.

Budi sendiri tak bisa dihadirkan di ruang sidang. Agen BIN ini tengah bertugas di Afghanistan. Yang mengejutkan belakangan, pengacara Muchdi menyatakan mendapat surat dari Budi. Dalam surat berlogo burung garuda itu, Budi menyatakan mencabut pengakuannya dalam BAP polisi.

Ramai-ramainya para saksi itu menarik kembali pengakuannya tentulah menguntungkan Muchdi. Menurut Suciwati, pencabutan itu jelas ini merupakan perintah dari “atas.” “Padahal, dalam setiap pemeriksaan, para saksi itu didampingi penasihat hukum dari BIN,” ujar Suci. “Kalau satu dua yang menarik, mungkin logis, tapi ini kan semuanya.”

Menurut Koordinator Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), Usman Hamid, meskipun para saksi mencabut kesaksiannya, bukan berarti kebenaran peristiwa dan keterlibatan Muchdi itu otomatis tidak ada. Menurut dia, inilah yang seharusnya dikejar hakim. “Tapi, hakim tidak mengejar kebenaran materil, hanya mengejar formil.”

Ditemui Tempo sesusai sidang, Ketua majelis hakim, Suharto, menolak berkomentar terhadap putusan terhadap Muchdi itu. Menurut dia, mereka yang tak puas atas putusannya, bisa mengajukan upaya hukum lain. “Bisa saja nanti putusan ini dibatalkan atau dikuatkan di peradilan yang lebih tinggi,” ujarnya.

Jaksa memang akan mengajukan kasasi terhadap putusan yang membuat Muchdi melenggang keluar dari tahanannya di markas Brimob, Depok itu. Tidak hanya jaksa, pengacara Pollycarpus, Mochammad Assegaf menyatakan akan memakai putusan bebasnya Muchdi sebagai dasar memperkarakan kembali status kliennya. “Kalau di tidak terbukti Muchdi menyuruh Pollycarpus membunuh Munir, lalu kenapa Pollycarpus dihukum?” katanya.

Di mata ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo, jika hakim menyatakan seluruh dakwaan Muchdi tidak terbukti, maka itu berarti Muchdi bebas murni. Konsekuensi hukumnya, kata dia, jaksa dalam hal ini bukan melakukan kasasi, melainkan mengajukan upaya hukum PK, peninjauan kembali. “Syaratnya harus ada bukti baru,” ujarnya.

Dari Markas Besar Polri, juru bicara kepolisian, Inspektur Jenderal Abu Bakar Nataprawira menegaskan, polisi sudah bekerja maksimal mengusut kasus ini. “Unsur-unsur Muchdi terlibat pembunuhan Munir pun sudah dipenuhi,” ujarnya. “Kalau tidak diterima hakim, itu risiko.”

Pekan-pekan ini Presiden SBY juga akan mempertanyakan bebasnya Muchdi ini kepada Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. “Instruksi Presiden kepada kepolisian dan Kejaksaan Agung jelas, yakni tuntaskan kasus pembunuhan Munir. Siapa pun pelakunya harus diadili, ” kata Andi Mallarangeng, juru bicara Presiden.

Dengan bebasnya Muchdi ini praktis dalam pembunuhan Munir, hanya dua orang yang dinyatakan terlibat: Pollycarpus dan Indra Setiawan. Jika Polly kini meringkuk di penjara Sukamiskin, Bandung, maka Indra, yang diganjar hukuman setahun karena bersalah mengeluarkan surat tugas untuk Polly, sejak April 2008 sudah menghirup udara bebas.

Bebasnya Muchdi, pada akhirnya memang meninggakan pertanyaan: apakah Polly memang dikorbankan dalam kasus ini? Usman Hamid tidak yakin Polly bekerja sendirian. “Tidak mungkin Pollycarpus otak dari semua ini.” Menurut Usman, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), akan mengawal langkah kasasi yang ditempuh kejaksaan. “Aparat hukum wajib menuntaskan kasus ini seadil-adilnya,” kata sahabat Munir itu.

Ditemui Rabu pekan lalu di rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang, Yosepha Hera Iswandari, istri Pollycarpus menegaskan ia tetap tak percaya suaminya membunuh Munir. “Naif sekali kalau pollycarpus mau diupah Rp 10 juta, tambah Rp 3 juta, dan tambah beberapa juta lagi untuk membunuh Munir,” ujarnya.

Menurut Hera, pertemuan Munir dan suaminya di Coffee Bean itu hanya rekaan saja. “Saksi Ongen Latuihamallo juga menarik kesaksian adanya pertemuan di tempat itu,” ujar perempuan yang kini membiayai kehidupan keluarganya dengan berjualan telur asin.

Seandainya pun Pollycarpus membunuh Munir, ujar Hera, sangat tidak masuk akal jika itu dilakukan atas inisiatifnya sendiri. “Tidak ada latar belakang Pollycarpus yang menjadikan alasan ia harus membunuh Munir,” ujar ibu tiga anak ini. ***

Anne L Handayani, Rini Kustiani, Munawwaroh, Cornila, dan Eko Ari Wibowo