Rabu, 26 Agustus 2009

Pengadilan Antasari Azhar

TINGGAL selangkah lagi Antasari Azhar berhadapan dengan pengadilan. Setelah lebih dari seratus hari mendekam di tahanan, inilah pekan terakhir kepolisian harus menyelesaikan berkas penyidikan perkara pembunuhan berencana dengan tersangka Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif tersebut. Merunut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, batas waktu penyidikan adalah 120 hari. Maka, pekan ini, Kejaksaan juga mesti segera menetapkan berkas tersebut sudah P-21 alias lengkap untuk segera dilimpahkan ke pengadilan.

Masyarakat kini tengah menunggu akhir lakon Antasari. Menunggu pengadilan membuka seterang-terangnya motif pembunuhan ini. Menunggu para hakim menjatuhkan hukuman seadil-adilnya kepada mereka yang terlibat. Kita tidak ingin otak pelakunya lolos atau hanya dihukum ringan, sementara, mereka yang diperdaya melakukan pembunuhan dengan alasan tugas negara dihukum berat. Kita ingin intellectuele dader pembantaian terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen ini dihukum setimpal kesalahannya.

Antasari, sebagai jaksa yang berpengalaman lebih dari 25 tahun, tentu telah menyusun strategi menghadapi kasus yang menjeratnya. Sebagai bekas Direktur Penuntutan Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung, jelas ia sangat memahami bagaimana ”menyusun” jawaban atas pertanyaan penyidik, agar tidak menikam dirinya. Pengembalian beberapa kali berkas penyidikan oleh kejaksaan kepada kepolisian menujukkan itu: polisi harus ekstra keras menambal lubang-lubang penyidikan, agar Antasari tak lolos dalam perkara ini.

Testimoni empat lembar yang dibuatnya di tahanan, yang menyebut koleganya di Komisi Antikorupsi menerima uang Rp 6 miliar dari seseorang yang tengah berperkara, juga menunjukkan Antasari menggunakan segala cara ”menyelamatkan” dirinya. Jika testimoni yang disanggah kebenarannya oleh para pimpinan Komisi merupakan upaya ”barter” informasi antara Antasari dengan kepolisian seperti ramai diberitakan dengan tujuan ia terbebas dari perkara pembunuhan, maka itu sangat disesalkan. Kita makin paham, demikianlah memang ”kelas” Antasari, sosok yang sejak awal pencalonannya sebagai pimpinan KPK, majalah ini sudah meragukan integritasnya.

Polisi kini lebih baik fokus menambal dan melengkapi bukti-bukti yang diminta kejaksaan ketimbang mengurus testimoni tersebut. Biarlah masalah testimoni tersebut diurus oleh internal KPK. Untuk soal ini kesalahan Antasari terang benderang. Ia telah bertemu seseorang yang menurut undang-undang seharusnya tidak boleh ia temui. Ini pelanggaran berat dan Antasari bisa dihukum lima tahun atas pelanggaran itu.

Kejaksaan, sebagai pihak penuntut, mesti benar-benar mempersiapkan bukti tak terbantahkan menghadapi Antasari dan tim kuasa hukumnya di Pengadilan. Kita tak ingin ”kasus Muchdi Purwoprandjono” terulang kembali dalam perkara ini. Tersangka pembunuhan Munir tersebut lolos dari jerat hukum karena hakim menilai bukti yang dilimpahkan jaksa lemah. Kasus Munir hanya melemparkan Pollycarpus Budihari, sang pelaku lapangan, ke dalam penjara. Ada pun otak pembunuhan keji tersebut hingga sekarang tetap bebas berkeliaran.

Memang ada kesamaan mengenai alat bukti dalam kasus Antasari dan Muchdi. Terdapat bukti rekaman keduanya dengan orang yang terlibat pembunuhan. Muchdi dengan Pollycarpus dan Antasari dengan Sigid Haryo Wibisono, pengusaha yang menyediakan uang Rp 500 juta sebagai ongkos operasional melenyapkan Nasrudin. Antasari sedikitnya telah berkomunikasi lewat telepon dengan Sigid sebanyak tiga puluh kali sebelum dan setelah pembunuhan terjadi.

Mengutip Jaksa Agung Hendarman Supandji, ada perbedaan antara Muchdi dan Antasari dalam kasus ini. Jika Muchdi dan Polly menampik mereka pernah saling berkomunikasi, maka Antasari dan Sigid mengakui adanya pembicaraan antarmereka. Karena itulah, Hendarman optimistis dengan bukti-bukti yang dipegang ”pasukannya,” Antasari tidak bisa meloloskan diri dari jerat hukum sebagai otak pembunuhan Nasrudin, pria yang diakui Antasari kerap memeras dan meneror dirinya.

Tanggalnya Antasari dari jajaran pimpinan KPK kini, ibarat judul lagu, tinggal menghitung hari. Sesuai Undang-Undang, begitu ia menjadi terdakwa, maka sejak saat itu ia diberhentikan sebagai pimpinan KPK. Kita mengharap, kursi kosong yang ditinggalkan Antasari segera diisi oleh mereka yang benar-benar memiliki integritas dalam memberantas korupsi dan tak tercela. DPR tidak boleh lagi bermain mata dalam pemilihan sosok yang akan menduduki jabatan penting ini. ***

Tidak ada komentar: