Sabtu, 03 November 2007

Karena Manusia Bukan Binatang

Undang-Undang Perdagangan Orang mengancam dan memberi hukuman berat siapa pun yang mengeksploitasi orang. Dari orang tua yang meminta anaknya jadi pelacur sampai petugas kelurahan yang memalsukan identitas.

***

JIKA undang-undang ini diterapkan semoga kabar semacam ini tidak lagi terdengar: para perempuan dan anak-anak Indonesia dijual, diperbudak, dan dipaksa jadi pelacur. Kita berharap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dua pekan lalu disahkan DPR, membuat para pelaku kejahatan ini jeri dan kapok.

Kasus perdagangan orang (trafficking in persons) di Indonesia terbilang tinggi. Menurut organisasi dunia yang menangani masalah anak, United Nations Children's Fund (UNICEF), rata-rata setiap tahun 100 ribu perempuan dan anak-anak Indonesia diperdagangkan. Kebanyakan menjadi pekerja seks, baik di dalam maupun di luar negeri.

Aparat hukum memang tidak tinggal. Tapi, dilihat dari yang ditangani, memang jauh dari jumlah kasus yang sebenarnya terjadi. Rata-rata, setiap tahun, tak sampai seratus kasus perdagangan orang yang diperiksa polisi. Dari angka itu, yang diproses ke pengadilan tak lebih separuhnya.

Di pengadilan, hukuman mereka yang didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang ini pun tak berat-berat amat. Hakim hanya memvonis satu hingga dua tahun penjara. Sebagian, bahkan, lolos dari dakwaan lantaran tak terbukti sebagai “pedagang orang.”

Ringannya hukuman itu tak lepas dari lemahnya aturan hukum yang ada. Untuk mengusut kasus perdagangan orang, aparat penegak hukum biasanya mengacu Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Celakanya, pasal tersebut tak mengatur secara rinci tentang kejahatan ini selain menyebut, “Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam pidana penjara paling lama enam tahun penjara.”

Dengan ancaman dan hukuman seringan ini tak heran para pelaku kejahatan tersebut, yang menangguk untung besar dari “bisnis berdagang manusia” itu, tak takut berhadapan dengan aparat hukum. Apalagi, jika aparat hukumnya bisa diajak “main mata.” Memang, di luar KUHP ada Undang-Undang Perlindungan Anak. Tapi, selain hanya melindungi mereka dibawah usia delapan belas tahun, undang-undang ini tetap tidak membentengi anak-anak dari tindak kekejian perdagangan orang.

Kini, dengan Undang-Undang Perdagangan Orang, siapa pun terkait dengan penjualan orang, baik untuk dijadikan pelacur atau dieksploitasi sebagai tenaga kerja bisa dikirim ke bui. Dari mereka yang membujuk, menyimpan, menyekap, memakai, atau sekadar sebagai sopir yang mengangkut para korban.

Para orang tua yang menyuruh atau meminta anaknya jadi pelacur, seperti yang terjadi di sejumlah desa di Indramayu, Jawa Barat, dan dikenal sebagai tradisi luruh duit, juga bisa dijerat dengan undang-undang ini. Demikian pula mereka yang memanipulasi dokumen dan keterangan yang memudahkan terjadinya tindak pidana ini, seperti para petugas kelurahan yang mengeluarkan KTP palsu.

Hukuman mereka yang terlibat kejahatan ini juga jauh lebih berat ketimbang KUHP. Selain ada hukuman minimal, yakni, tiga tahun penjara dan denda Rp 20 juta, pelakunya bisa dipenjara hingga seumur hidup dan denda sampai Rp 5 miliar. Jika menyangkut korporasi selain pidana dendanya berlipat menjadi tiga kali, pemerintah bisa mencabut ijin usaha perusahaan tersebut.

Makin lengkaplah aturan hukum kita untuk mencegah dan menjerat para pelaku tindak pidana perdagangan orang. Dengan undang-undang baru ini, aparat hukum, dari polisi hingga hakim, memiliki banyak “amunisi” untuk mengirim siapa pun terkait kejahatan ini ke dalam bui. Dengan dalih apa pun, termasuk masalah ekonomi, kita memang menolak seseorang dijual dan dieksploitasi bak hewan. ***

Tidak ada komentar: