Jumat, 22 Februari 2008

Gadis di Kereta

MUNGKIN kalian pernah melihatnya -atau mungkin pernah merasa terganggu dengan kehadirannya. Berambut pendek, tubuh yang juga pendek, siapa pun tahu dia memang tidak kanak-kanak. Wajahnya tidak bisa disembunyikan.

Kalian, yang kerap naik kereta api ekonomi Bogor-Jakarta, mungkin kerap melihat dia tersuruk-suruk, kerap menarik lengan penumpang, sembari berujar, “minta uang om....bagi uang om...”

Dia, tubuhnya mungkin sekitar 1.40 sentimeter, memang bukan kanak-kanak. Usianya, kini 17 tahun. Pertama dari tiga bersaudara, adiknya, Yandi dan Yusuf, masih duduk di sekolah dasar. Dan dari uangnya mengemis di kereta itu ia ikut menghidup keluarganya: ibu dan dua adiknya yang berwajah tampan dan bertubuh normal. Sehari, dari meminta-minta di kereta, dia bisa mendapat uang sekitar Rp 50 ribu. Hari minggu ia istirahat di rumah.

Noviana, demikian nama gadis yang kerap muncul di kereta itu. Biasa dipanggil “Novi” oleh ibunya dan sang adik.

Di suatu siang, di stasiun Tanjungbarat, Jakarta Selatan, saya berjumpa dengan ibunya, Sutinah. Perempuan berumur 40 tahun ini berasal dari Desa Bandungan, Magelang, Jawa Tengah.

Perempuan ini telah bercerai dengan suaminya. “Suami saya kawin lagi, saya tidak mau dimadu,” katanya. Kenapa tidak pulang ke Magelang? “Saudara saya memintanya begitu, tapi saya tidak mau. Yang penting saya bisa membesarkan anak saya,” kata Sutinah.

Bersama ketiga anaknya, Sutinah kini tinggal di sebuah gubuk kontrakan di sebuah gang di di daerah Ratu Jaya. Di depan rumahnya ada sebuah langgar. “Anak-anak saya mengaji di sana.”

Dia berkisah tentang Noviana. Putrinya itu, ujarnya, awalnya adalah gadis cilik yang normal. Cerdas dan selalu ceria. Saat itu ia baru punya dua anak. Tak ada kesusahan dalam hidup mereka sehari-hari kendati sang suami bekerja serabutan. “Suami saya kadang-kadang kerja di Pasar Minggu,” ujarnya. Saat itu mereka memang tinggal di sekitar tempat itu.

Lalu, tibalah malapetaka itu. Pada suatu hari di bulan Mei 1998, Jakarta dilanda huru-hara. Penjarahan terjadi di mana-mana. Berbarengan dengan terbakarnya puluhan -atau mungkin ratusan-- ruko, toko, dan juga mall. Pasar Minggu adalah salah satu daerah yang ikut “terbakar.” Massa, entah datang dari mana, berkumpul di sana, dan menjarah sejumlah toko. Penjarahan juga terjadi di sana.

Noviana ada di sana. Ikut bersama bapaknya, Muhamad Amin, melihat “keramaian” massa itu. Dan tiba-tiba, entah dari mana, sesuatu telah membenturnya. “Mungkin gerobak,” kata Sutinah. Noviana terpelanting, semaput. “Kami bawa dia ke rumah sakit. Dia tidak sadar diri selama tiga hari.”

Saya tak bisa membayangkan apa yang dilakukan para dokter dalam kondisi Jakarta seperti itu terhadap keluarga miskin -yang pasti tak memiliki jaminan apa pun untuk kesembuhan anaknya itu. Adakah para dokter telah memberika pelayanan terbagus?, misalnya.

Yang pasti kemudian terjadi dengan sesuatu yang sama sekali tak terbayangkan. Begitu siuman, segalanya berubah. Noviana seperti bukan Noviana yang kemarin. Terjadi kerusakan dalam otak. Kecerdasannya mundur, tubuhnya juga menjadi tak normal pertumbuhannya. “Ia menjadi tak normal,” kata Sutinah.

Noviana adalah salah satu korban huru-hara Mei 1998. Kerusuhan yang juga kemudian menjatuhkan Presiden Soeharto. Kini gadis itu -dalam ketidak normalannya- menjadi penopang keluarga.

1 komentar:

indri mengatakan...

Miris ya denger ceritanya... ga nyangka dibalik sikapnya yang kurang sopan dan rasa terganggu waktu dia tarik-tarik baju untuk minta uang, ternyata novi punya peran penting dalam menghidupi keluarganya. Cerita ini menyadarkan sy untuk bersedekah dengan iklas tanpa harus melihat bagaimana cara dia meminta. Nice story pa bas...