Senin, 11 Februari 2008

Tak Harus ke polisi atau Mahkamah Konstitusi

Merasa dihalangi tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Perpajakan. Tindakan yang semestinya tidak perlu.

KETUA Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution, seharusnya tidak perlu buru-buru mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Perpajakan. Kendati auditornya tidak bisa memeriksa data pajak di Direktorat Jenderal Pajak seperti diharapkan, bukan berarti Anwar harus meradang dan memperkarakannya ke Mahkamah Konstitusi. Cara-cara demikian pastilah hanya menciptakan “kerenggangan” antara BPK dan Direktorat Pajak.

Bukan sekali ini saja Anwar Nasution bertikai dengan lembaga yang dianggapnya menutup diri untuk diaudit. Pada September tahun lalu, Anwar melaporkan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, ke polisi dengan tuduhan menghalangi kerja BPK. Kedua petinggi lembaga negara tinggi negara ini pun saling melempar statemen panas di media massa. Perseteruan baru kelar setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan dan menyatakan akan menerbitkan peraturan pemerintah mengenai biaya perkara di Mahkamah Agung.
BPK memang layak menelisik aliran uang di Mahkamah Agung. Dari mana saja, berapa, dan ke mana uang itu mengalir. Selama ini, bukan rahasia lagi, biaya perkara di lembaga peradilan sangat tidak transparan. Para pencari keadilan kerap menjadi bulan-bulanan dengan diwajibkan membayar biaya perkara di luar ketentuan yang ada. Karena itu, BPK harus “masuk” dan mengaudit seluruh lalu lintas uang di MA tanpa kecuali. Siapa tahu, dengan demikian pula, praktek mafia pengadilan yang selama ini santer terdengar di lembaga itu, bisa terbongkar.
Berbeda dengan Mahkamah Agung, Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, memang tak memberi kebebasan BPK memeriksa dokumen wajib pajak, sesuatu yang menurut undang-undang ini wajib dirahasiakan. Namun, bukan berarti peluang BPK tertutup. Menurut Pasal 34 undang-undang tersebut, dengan izin Menteri Keuangan, BPK tetap bisa melakukan tugasnya. Hanya, yang diperiksa pun terbatas, sesuai yang disetujui Menteri Keuangan.
BPK dan Direktorat Pajak sebenarnya sudah mengarah menuju titik temu masalah ini. Kedua lembaga tersebut sudah meneken kesepakatan, memorandum of understanding, untuk merumuskan apa saja dan bagaimana audit pajak dilakukan. Tapi, pembahasan yang sudah berlangsung dua belas kali ini ternyata tak memuaskan Anwar Nasution. Anwar memilih caranya sendiri, membawa masalah ini ke Mahkamah Kostitusi.
Keputusan Anwar ini yang kami sesalkan. Sebagai lembaga penting, kita tahu, tugas BPK, selain berat juga menumpuk. Sementara, sidang pengujian undang-undang tidaklah singkat. Karena itu, membawa masalah seperti ini ke Mahkamah Konstitusi bukan tindakan tepat. Bisa disebut hanya membuang-buang energi. Kesan yang juga muncul: BPK cepat patah arang dalam menjalankan tugasnya.
Seharusnya, Anwar tak perlu emosional, meradang, atau kemudian mengeluarkan pernyataan pedas, jika BPK kesulitan mengaudit suatu instansi. Dicapainya kesepakatan dengan Direktorat Pajak, kendati kemudian tak berlanjut, sudah menunjukkan lembaga ini sesungguhnya terbuka terhadap BPK. Tak tercapainya yang diinginkan Anwar, bisa jadi hanya karena kurangnya komunikasi dan sikap saling menghargai. Sebagai nahkoda BPK, Anwar harus bisa mengatasi hal-hal seperti ini, sehingga dengan demikian BPK tetap bisa menjalankan tugasnya dan Anwar tak habis waktunya hanya untuk mengkritik atau memperkarakan lembaga yang menurut dia emoh diaudit, ke polisi atau Mahkamah Konstitusi.***
Dimuat di Tempo edisi 11-17 Februari 2008

Tidak ada komentar: